Kemiskinan merupakan permasalahan terbesar yang dihadapi negara berkembang, tak terkecuali bangsa Indonesia. Dana triliunan rupiah dan berbagai macam program pengentasan masyarakat miskin telah diimplementasikan, tapi tidak banyak mengubah komposisi penduduk miskin dan bahkan terjadi proses pemiskinan masyarakat pedesaan di Indonesia.
Kalau pemerintah sudah bekerja keras, pertanyaan yang muncul, kenapa kondisi kemiskinan masih sama dengan kondisi sepuluh tahun yang lalu? Apakah memang kelompok miskin tidak mau keluar dari kemiskinan? Jawabannya tentulah tidak, menjadi miskin bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah keterpaksaan atas nasib yang telah digariskan oleh Tuhan. Melihat kondisi di atas, tentu ada yang salah dari sisi kebijakan. Kebijakan pengentasan masyarakat miskin selama ini tidak efektif dalam mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.
Jika kita mau menelaah lebih dalam, terdapat empat alasan utama kekurangefektifan kebijakan pengentasan masyarakat miskin yang diimplementasikan oleh pemerintah. Pertama, adanya penyeragaman kebijakan tanpa mengakomodasi permasalahan di tingkat lokal atau cenderung mengabaikan kearifan lokal, padahal karakteristik kemiskinan berbeda-beda antardaerah.
Kedua, terjadi sentralisasi dalam proses perencanaan penentuan program pengentasan masyarakat miskin. Public hearing sering dilakukan asal-asalan dan digunakan sebagai legitimasi bahwa kebijakan yang diambil sudah memperoleh masukan dari masyarakat. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat otonomi daerah, ketika peran serta pemerintah daerah dalam pengentasan masyarakat miskin harus lebih menonjol dibanding pemerintah pusat.
Ketiga, adanya ego sektoral dan kurang adanya sinkronisasi berbagai kebijakan yang diimplementasikan oleh departemen ataupun kementerian negara. Keempat, pemerintah selalu mengambil kebijakan yang reaktif, parsial, dan tidak konsisten dalam mengimplementasikan kebijakan pengentasan masyarakat miskin.
Dalam hal ini bahwa kualitas kebijakan pengentasan masyarakat miskin dari tahun ke tahun menunjukkan sebuah tanda perbaikan yang cukup signifikan. Perubahan yang paling mendasar adalah keberanian pemerintah mengubah sistem subsidi dari subsidi produk (bahan bakar minyak, listrik, dan sebagainya) menjadi subsidi yang bersifat langsung kepada kelompok miskin, seperti bantuan langsung tunai (BLT), bantuan operasional sekolah, dan Asuransi Miskin (Dartanto, 2005). Sistem subsidi produk, seperti BBM/listrik, memang sangat bias kepada kelompok menengah ke atas yang merupakan konsumen terbesar, sedangkan subsidi langsung (direct subsidy/targeted subsidy) secara teoretis merupakan kebijakan yang sangat adil (Ikhsan, et al., 2005).
Tapi, sekali lagi, kritik utama dalam masalah ini adalah implementasi kebijakan BLT yang bersifat seragam tanpa memikirkan kondisi sosial kemasyarakatan. Kebijakan ini bersifat konsumtif dan menimbulkan permasalahan sosial di level bawah. Selain itu, BLT merupakan kebijakan yang bersifat diskriminatif, sehingga terjadi segregasi dalam kelompok miskin, khususnya kelompok miskin perkotaan. Penyaluran BLT melalui kantor pos mengharuskan penerima BLT memiliki domisili tetap (mempunyai kartu tanda penduduk), sedangkan banyak kelompok miskin perkotaan yang tidak memiliki KTP/domisili tetap. Dengan demikian, walaupun mereka juga menderita akibat kenaikan harga BBM, mereka tidak dapat menikmati dana kompensasi. Tertib administrasi memang penting, tapi kebijakan untuk menolong nyawa manusia jauh lebih penting.
Berbagai kritik mengenai BLT dialamatkan kepada pemerintah, sehingga kebijakan BLT dihentikan dan diganti dengan kebijakan bantuan tunai bersyarat (BTB). Kebijakan BTB ini difokuskan untuk kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan mutu modal manusia. Target penerima BTB adalah keluarga miskin yang memiliki anak sekolah dan ibu hamil (Widianto, 2006). Mengganti BLT menjadi BTB bukanlah kebijakan yang arif, dan bisa diibaratkan pemerintah ingin menyelesaikan permasalahan kemiskinan jangka panjang, tapi melupakan permasalahan kemiskinan jangka pendek yang dihadapi masyarakat.
Marilah kita mencoba melihat kondisi kemiskinan riil di lapangan. Pengamatan penulis di Desa Pelemgede, Pati, Jawa Tengah, menunjukkan secara jelas bahwa mengganti BLT menjadi BTB bukanlah hal yang tepat. Rumah tangga miskin di pedesaan pada dasarnya dapat dibagi menjadi empat. Pertama, kelompok janda tua berumur di atas 65 tahun, yang tidak memiliki faktor produksi. Kedua, kelompok janda usia produktif yang tidak memiliki sawah sehingga mengandalkan pendapatannya dari buruh tani. Ketiga, kelompok usia senja di atas 50-an, yang memiliki anak yang sudah berkeluarga. Keempat, kelompok usia produktif, yang memiliki anak usia sekolah dan memiliki tanah garapan.
Keempat kelompok di atas pada awalnya adalah penerima BLT, tapi ketika BTB diimplementasikan, hanya kelompok keempat yang akan memperoleh bantuan dari pemerintah. Kelompok kedua masih bisa bertahan hidup dengan mengandalkan tenaganya bekerja di sektor pertanian, tapi mereka hanya berpangku tangan ketika musim paceklik. Kelompok ketiga akan mempertahankan hidup dari transfer dari anak, sedangkan kelompok pertama hanya bisa merenungi nasib dan menunggu belas kasihan dari tetangga.
Tetangga/sistem sosial memang memiliki kewajiban terhadap nasib kelompok pertama, tapi seharusnya yang lebih bertanggung jawab adalah negara, seperti yang diamanatkan dalam konstitusi. Penulis dulu berharap bahwa kebijakan BLT untuk kelompok miskin usia nonproduktif akan terus dipertahankan, sedangkan sisa dana BLT akan digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif. Kebijakan seperti program padat karya musiman sangat tepat diimplementasikan di daerah pedesaan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran musiman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar