Anak jalanan hidup di area yang berbahaya. Perlindungan bagi mereka nyaris tidak ada, membuat para pelaku kriminal bebas menjadikan mereka korban. Hujan yang turun sejak sore masih menyisakan gerimis hingga dini hari.
Dinginnya cuaca pada hari itu terasa menusuk tulang. Namun, satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan tiga orang anak balita masih terjaga di kolong jembatan layang Pejompongan, Jakarta Pusat.
Salah seorang di antara ketiga bocah itu, anak perempuan berusia 5 tahunan, sigap mengelap motor yang melintas di kawasan itu ketika lampu merah menyala.
Aktivitas itu dia lakukan sembari menggendong bayi berusia bulanan yang terlelap dalam balutan kain lusuh.
Tak perlu mengurut dada, pemandangan seperti itu sudah biasa di di Ibu Kota. Gelandangan cilik yang bergerombol di lampulampu merah merupakan fenomena wajar di kota itu. Mereka itulah yang kerap disebut anak jalanan.
Menurut sosiolog dari Universitas Indonesia, JF Warouw, anak jalanan memiliki tiga defi nisi yang berkembang dari defi nisi awal.
Definisi awalnya adalah anak-anak yang terlantar atau ditelantarkan oleh orang tua mereka dengan alasan ekonomi, lalu berada di jalanan.
Namun seiring perkembangan di masyarakat, definisi mulai berkembang menjadi anak-anak produk dari keluarga miskin yang ternyata orang tuanya melihat potensi anak-anak mereka sebagai pemberi uang untuk keluarga.
Dari definisi kedua ini berkembang definisi ketiga, yaitu anak-anak jalanan ini dengan sengaja dan tidak sengaja dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan tertentu.
Kekerasan juga kerap dialami anak-anak jalanan ini dari yang terselubung sampai kekerasan terbuka. Keinginan orang tua yang menyuruh mereka mengamen atau mengemis di jalanan juga merupakan kekerasan walau terselubung. Dari kekerasan terselubung ini akan muncul kekerasan terbuka.
“Di jalanan terjadi wilayah kekuasaan teritorial. Kalau mereka melanggar maka akan saling berkelahi.
Contohnya di kereta ekonomi Jabodetabek. Bila ada yang mengamen di suatu gerbong dan temannya ada di belakang, maka ia harus menunggu giliran hingga temannya pindah ke gerbong berikut,” ujarnya.
Selain itu, dari pengamatannya di jalanan, ia mendapati orang tua anak-anak ini mengawasi dari jauh kegiatan anak-anaknya di jalan.
Bila sudah seperti ini, maka aktivitas anak jalanan ini sudah terorganisasi. "Warouw" menilai keberadaan anak-anak ini di jalanan sebagai kegagalan tingkat pemerintahan pada level bawah mengelola warganya.
Ia mengatakan seharusnya ketua RT/RW dan sampai tingkat kelurahan bisa mendeteksi kemiskinan di wilayahnya dan membuat program pemberdayaan masyarakat.
Sementara Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta, Budihardjo, mengatakan pihaknya akan menertibkan anak jalanan. Setelah ditertibkan mereka akan diajukan pilihan, misalnya mereka akan kembali ke sekolah atau menjadi anak negara.
Anak jalanan yang menjadi anak negara akan ditampung di enam panti sosial dan disekolahkan. Di bawah binaan Dinas Sosial terdapat 23 rumah singgah dan enam panti sosial yang menampung anak jalanan menjadi anak negara.
Jumlah kapasitas daya tampungnya sebanyak 1.240 anak. Dinas Sosial mengharapkan partisipasi dan gerakan masyarakat untuk memerangi sindikat dan koordinator anak jalanan serta pengemis.
“Kami mengharap pengguna jalan juga tidak memberi uang kepada mereka di jalanan sehingga anak jalanan dan pengemis akan menghilang dengan sendirinya,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga bertekad memberantas sindikat anak jalanan yang mengeksploitasi anak jalanan untuk kepentingan ekonomi mereka.
“Kita menggandeng Polda Metro Jaya untuk mencari upaya permasalahan sosial yaitu menangkap pelaku yang mengoordinasi anak jalanan termasuk yang melakukan sodomi karena eksploitasi anak sudah masuk pidana yang menjadi ranah kepolisian. Di sisi lain, Budiharjo mengharapkan peran masyarakat lebih ditingkatkan.
Ia menilai peran dewan kelurahan serta karang taruna di kelurahan kurang maksimal sehingga banyak remaja tidak memiliki aktivitas. Ia menyebut masyarakat sudah cenderung tidak peduli dengan kondisi sosial di sekitar tempat tinggalnya.
Penuh Kekerasan Di lain pihak, Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, mengatakan kemiskinan adalah akar hadirnya anak-anak di jalanan sehingga mereka mencari uang dengan mengamen dan mengemis. Kemiskinan ini pula menyebabkan timbulnya kejahatan.
Walaupun bukan menjadi faktor mutlak, Adrianus menilai, kemiskinan membawa anak-anakanak ke dalam lingkungan yang berbahaya. Adrianus pun menyebut kasus Baikuni alias Babe yang melakukan tindakan mutilasi dan sodomi terhadap anak-anak telantar.
“Kehadiran mereka di jalan membahayakan nyawa mereka. Ditambah keluarga para anak jalanan tidak peduli keberadaan anaknya akan makin memudahkan orang-orang seperti Babe menjalankan niatnya,” terangnya Adrianus menyebut orang seperti Babe bisa mengulang perbuatannya berkali-kali karena pelaku berhasil menutupi kejahatannya. Karena merasa aman dari hukum, pelaku terus menjalankan aksinya.
“Kasus ini terjadi karena ada kepuasan dari pelaku. Ada kenikmatan pelaku saat menjalankan aksi kejahatannya,” jelasnya.
Menurut psikolog anak dari Dialogue Consulting dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Herlina Lin, anak jalanan biasanya mendapatkan perlakuan tidak semestinya dari orang tuanya.
Mereka tidak mendapatkan hak layaknya seorang anak seperti pendidikan dan juga belum saatnya mencari uang.
Bahkan, anak jalanan ini bukan hanya membantu tugas orang tuanya, namun menjadi ujung tombak mencari nafkah karena orang tua mereka mengeksploitasi mereka dan memantau dari jauh.
Pada keluarga tertentu yang miskin, ada yang bisa melindungi anak-anaknya sehingga tidak berada di jalanan karena orang tuanya peduli dan mengawasi ketat anaknya.
Anak-anak mereka membantu orang tua dengan berjualan koran atau ojek payung tapi tetap diawasi orang tuanya.
Namun, menurut Herlina, jumlah keluarga seperti ini jarang. Kebanyakan orang tua mereka tidak peduli terhadap keberadaan mereka di jalanan sehingga tidak memonitor yang mereka alami di jalanan.
“Hal ini tergantung pola pikir orang tua memaknai tanggung jawab mereka terhadap anak seperti apa. Jadi anak jalanan hadir karena pembiaran oleh orang tua dan kedua karena faktor ekonomi,” jelasnya. Anak jalanan juga cenderung mengalami kekerasan dari sesama anak jalanan.
Ia pernah melakukan penelitian untuk studi kasus anak jalanan. Dalam pengalamannya, anak yang usianya lebih muda sering diperas oleh anak jalanan yang lebih tua dan besar.
Anak yang posturnya lebih kecil dan usianya lebih muda akan lebih banyak mendapatkan uang dari orang di jalan. Akibatnya anak jalanan yang lebih tua merasa iri hati dan melakukan pemerasan.
“Saat mau pulang ke rumah diadang oleh yang senior dan diminta uangnya. Lalu di saat mereka tidur, uang hasil ngamennya diambil.
Bahkan, ketika sudah disembunyikan uangnya tetap bisa ditemukan dan diambil,” terangnya. Karena mereka tidak memiliki pelindung saat berada di jalanan, beberapa dari mereka melakukan perlawanan. Di satu sisi mereka kekurangan kasih sayang atau kebutuhan emosionalnya kurang dari orang tuanya.
Namun, di sisi lain, mereka memiliki karakter kuat untuk bisa bertahan hidup. Selain itu, rasa solidaritas di antara mereka juga tinggi dengan saling berbagi makanan dan uang hasil mengamen seharian.
Pages
Jumat, 26 Maret 2010
this me.. :D
Labels
Mengenai Saya
- all about susan
- hmmmpppp .. menilai diri sendiri itu ga' mudah,, so far gw cuma wanita biasa yg punya sejuta mimpi & harapan yg segera ingin diwujudkan!Entah penilaian orang apa, tapi.. gw ingin dikagumi bkn krn fisik semata tp inner beauty dlm diri gw.gw hanya hamba ALLAH yang berusaha menjadi KEBANGGAAN utk keluarga, sahabat, maupun di hadapan-NYA.
Pengikut
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar