Munculnya Nabi/Rasul palsu adalah termasuk menggoyang
wibawa para `Alim `Ulama, para pewaris Nabi Muhammad saw dan juga
terhadap pengamalan ajaran agama Islam. Dalam pemerintahan Islam
munculnya mereka memiliki konsekwensi hukum bunuh, kecuali mereka
bertaubat dengan sebenar-benar taubat. Karena mereka telah berani
berbohong dengan mengatas namakan Allah, yang ajarannya dipastikan
menyimpang.
Seorang muslim yang sholih, tidak pernah sedikitpun tergores dalam
benaknya untuk berbuat sesuatu yang sangat-sangat besar dosanya,
dengan mengaku sebagai Rasul baru.
Munculnya Nabi dan Rasul Palsu di negri kita Indonesia,
yang bukan Negara Islam, tentunya membutuhkan penyelesaian yang lain
lagi. Kita menghimbau pada umat islam agar tidak main hakim sendiri,
karena mungkin saja, Nabi atau Rasul Palsu yang ditampilkan ke
permukaan adalah untuk membuat kekeruhan ditengah-tengah umat yang
sedang merindukan bimbingan para `Alim dan `Ulama yang Sholih dalam
menghadapi masalah-masalah hidup mereka. Sehingga bila ditangani
dengan gegabah bisa menimbulkan konflik horizontal yang sia-sia.
Yang dapat merugikan umat Islam sendiri.
Langkah yang paling `Arif adalah kebersamaan para `Alim `Ulama yang sholih untuk segera berbenah diri, bagaimana membimbing umat ini kepada ajaran Islam yang bersih-murni dan lurus, sehingga kehausan mereka akan pengamalan Al-Qur'an dan As-Sunnah
secara bersih murni dapat terwujud dan dapat menyelesaikan masalah
umat yang bertimbun-timbun di saat ini.
Kerja sama para `Alim `Ulama dan aparat yang berwajib
sangat diharapkan, sehingga betul-betul kemesraan para `Alim `Ulama
dan Umaro'(pemerintah) menghasilkan kerjasama yang membahagiakan
umat Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya.
Semoga Allah menyadarkan kita semua umat Islam khususnya
untuk mengoreksi diri dan bertaubat kepada Allah, dan semoga Allah
menyadarkan para Nabi-Nabi dan Rasul-rasul palsu tersebut agar
segera bertaubat, sebelum kematian menjemput mereka, dan betapa
siksa yang akan mereka terima begitu sangat besar dan sangat dahsyat
yang kekal selama-lamanya.
Setelah lama tak terdengar, kini kasus tentang aliran keagamaan
yang dinilai sesat oleh sejumlah ormas sosial-keagamaan
kembali mencuat. Aliran al-Qiyadah al-Islamiyyah kini sedang
mendapat sorotan publik. Tidak sedikit pengikut aliran ini yang
mendapat teror dan kekerasan dari sejumlah kelompok masyarakat yang
tidak setuju atau merasa resah dengan keberadaan mereka. Bahkan, ada
banyak pengikut aliran ini yang ditangkap oleh pihak kepolisian
untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut.
Kasus ini mengingatkan kita pada kasus serupa pada pertengahan
tahun 2005 di mana banyak pengikut jamaah Ahmadiyah yang mendapat
perlakuan kekerasan dari sejumlah kelompok masyarakat yang merasa
resah dengan keberadaan mereka.
Pemecahan terhadap masalah ini memerlukan cara yang baik dan
bijaksama. Artinya, kita tidak boleh lagi gegabah dalam bersikap.
Cara yang dapat dianggap gegabah adalah dengan cukup mengeluarkan
fatwa bahwa aliran ini itu adalah sesat, maka persoalan dianggap
sudah selesai. Namun, bagaimana faktanya? Cara seperti itu justru
menyulut kemarahan sejumlah kelompok masyarakat yang memang selama
ini sudah gerah dengan keberadaan aliran-alirang yang dianggap
sesat. Aksi-aksi kekerasan akhirnya timbul. Apalagi, media
massa yang ikut mengekspos secara besar-besaran pemberitaan tentang
isu ini jangan-jangan juga ikut berperan dalam menyulut emosi publik.
ALIRAN SESAT
Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah telah dinyatakan sesat oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena dianggap telah mengingkari
ajaran pokok Islam sebagaimana yang telah dibawakan Nabi Muhammad
SAW (www.mui.or.id).
Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah didirikan pada tanggal 23 Juli
2006 oleh Acmad Moshaddeq alias H Salam. Ia sendiri mengaku sebagai
nabi baru yang menggantikan posisi Nabi Muhammad SAW dan mendapatkan
wahyu dari Allah SWT. Pengakuan itu muncul setelah dirinya melakukan
pertapaan selama 40 hari 40 malam. Pelantikan H Salam sebagai rasul
dilakukan pada tanggal yang sama di Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat.
Kitab suci yang diyakini aliran ini tetap al-Quran. Hanya
saja, mereka menafsirkan sendiri kandungan ajaran al-Quran, tanpa
merujuk pada pendapat para ahli tafsir masa lalu. Mereka tidak
mempercayai adanya hadits sebagai rujukan agama yang terpenting
setelah al-Quran. Aliran ini memiliki syahadat baru yang tidak
lazim seperti umumnya, yaitu Asyhadu alla ilaha illa Allah wa
asyhadu anna al-Masih al-Maud Rasul Allah (Aku bersaksi bahwa
tidak Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa al-Masih al-MaĆ¢ud
adalah Rasulullah).
Aliran ini tidak mewajibkan ritual-ritual keagamaan, seperti
shalat, puasa, dan haji. Dengan argumentasi hijrah sebagaimana
dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW, ritual-ritual semacam itu
tidak wajib karena umat Islam masih dalam proses pembentukan menuju
sebuah al-khilafah al-Islamiyah (khilafah Islam). Ajaran dari aliran
ini yang juga terasa aneh adalah sistem penebusan dosa yang
dilakukan melalui pembayaran sejumlah uang kepada al-Masih al-
Maud, yaitu pimpinan jamaah mereka
Aliran ini terbilang masih sangat baru karena berumur kurang
dari satu setengah tahun. Jika dianalisis secara kritis, memang
argumen-argumen aliran ini terlihat banyak yang janggal. Namun
demikian, kita perlu juga menghargai pendapat dan argumen mereka,
terlepas kita sendiri menganggap bahwa aliran mereka itu adalah
keliru atau salah. Mengapa demikian? Karena kita hidup dalam sebuah
negara yang demokratis dan menganut prinsip kebebasan beragama.
Apapun perbedaan yang ada perlu disikapi dengan cara yang elegan dan
santun. Adanya kelompok lain (the others) yang bukan termasuk
dalam mainstream Islam, tidak lantas menyebabkan kita berlaku
diskriminatif dan kemudian melenyapkan mereka di muka bumi
ini. Tentu, ada proses di mana masing-masing pihak perlu saling
belajar dari kesalahan dan memperbaiki diri.
Apakah era kebebasan dapat dijadikan penyebab mengapa aliran
sesat sekarang ini banyak bermunculan? Jika kebebasan kemudian
dijadikan kambing hitam, maka rasanya tidak fair karena
sebenarnya ada banyak faktor lain yang dapat kita anggap sebagai
penyebab munculnya aliran sesat. Di antara sekian banyak faktor,
rupanya faktor kekeliruan pemahaman keagamaan yang diyakini oleh
penganut aliran sesat sebagai faktor utamanya. Mereka tidak
memahai Islam secara komprehensif, namun justru memilah dan memilih
mana dasar rujukan keislaman yang menjadi pedoman pemahaman mereka
selama ini. Proses semacam itu sangat boleh jadi lebih didasarkan
atas kepentingan hawa nafsu semata. Oleh karenanya, aliran semacam
itu perlu dirangkul untuk diajak berdiskusi bersama tentang
bagaimana memahami ajaran Islam dengan sebaik-baiknya, bukan justru
dimusuhi atau dijauhi dengan cara-cara teror dan kekerasan.
Perlukah Cara Kekerasan?
Ketika isu-isu seputar aliran sesat menyeruak ke publik,
dengan cepat organisasi sosial keagamaan, masyarakat luas, termasuk
pihak pemerintah dan aparat keamanan sangat cepat merespon isu-isu
ini dengan berbagai cara. Ada yang dengan cara mengeluarkan fatwa
sesat, ada yang ingin langsung menyerang para pengikutnya, dan juga
ada yang menangkap para pengikut itu dengan dalih pengamanan dan
pemeriksaan.
Namun, yang disayangkan respon berlebihan justru akan
menimbulkan kontraproduktif terhadap image Islam itu sendiri sebagai
agama yang santun dan damai. Sebab, tidak sedikit dari repon-respon
yang muncul itu lebih bernuansa kebencian, klaim kesesatan, dan yang
lebih mengkhawatirkan adalah eksesnya terhadap tindak kekerasan dan
teror. Masyarakat umum yang awalnya hanya mengetahui bahwa aliran
itu tidak sesuai dengan ajaran Islam pada umumnya, kemudian ikut-
ikutan terdorong untuk melakukan tindakan kekerasan.
Cara-cara kekerasan dengan dalih apapun tidak dapat dibenarkan,
baik itu menurut agama, etika, maupun prinsip kehidupan berbangsa
dan bernegara. Masyarakat sendiri tidak dapat disalahkan begitu saja
karena mereka berbuat itu didorong oleh sejumlah faktor penyebab
awalnya. Entah itu karena adanya fatwa, ekspos media massa yang amat
berlebihan, atau pernyataan-pernyataan sejumlah organisasi sosial-
keagamaan yang pada akhirnya ikut mempengaruhi pandangan sempit
mereka menjadi seperti itu.
Jadi, kekerasan sama sekali bukan solusi. Sebagaimana
dikemukakan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Din
Syamsuddin bahwa jangan sampai ada penghakiman dan tindak kekerasan.
Mereka justru perlu dirangkul agar mau kembali ke jalan yang benar
Departemen Agama telah membentuk tim kecil yang bertugas
meneliti lebih lanjut tentang keberadaan aliran al-Qiyadah al-
Islamiyah. Menurut Dirjen Bimbaga Islam, Nasaruddin Umar, pemerintah
tidak boleh gegabah dalam menyikapi kasus ini. Oleh karenanya, perlu
dibentuk tim kecil untuk meneliti aliran itu. Hasil dari penelitian
tim kecil ini akan menjadi bahan acuan Depag untuk membuat
rekomendasi tentang status aliran al-Qiayadah al-Islamiyah yang
kemudian diteruskan kepada pihak Kejaksaan Agung dan Kepolisian
Salah satu cara yang yang cukup elegan untuk mengatasi kasus
aliran sesat agama adalah dengan melakukan kegiatan dialog,
diskusi, atau debat publik. Melalui kegiatan semacam ini nantinya
pemimpin dan pengikut aliran sesat al-Qiyadah al-Islamiyah
akan dihadapkan pada pengujian terhadap argumentasi pemahaman
keagamaan mereka selama ini. Jika ajaran dan pemahaman yang selama
ini mereka pahami dan yakini ternyata keliru, maka mau tak mau akan
ada proses penyadaran secara sendirinya.
Aliran-aliran semacam itu tidak perlu disikapi secara
Panas terlebih dahulu, baik melalui keputusan dan pernyataan
sesat oleh sejumlah organisasi sosial-keagamaan atau melalui
penangkapan terhadap sejumlah pengikut dan pimpinan jamaahnya.
Mereka perlu diajak berdialog terlebih dahulu.
Dengan digelarkan berbagai dialog, diskusi, atau debat antara
pihak-pihak yang berkepentingan dengan kasus aliran sesat ini,
maka diharapkan nantinya tidak muncul lagi aksi-aksi kekerasan yang
tidak bertanggung jawab. Setiap kali ada isu bahwa aliran A atau B
itu sesat, sudah sebaiknya isu ini tidak dilempar ke publik terlebih
dahulu. Namun, pihak-pihak yang secara langsung berkepentingan
dengan masalah ini, seperti Depag dan MUI, perlu melakukan dialog,
diskusi, atau debat dengan aliran yang dianggap sesat itu.
Hingga pada akhirnya biarlah konsensus publik yang akan
menilai apakah aliran ini-itu sesat atau tidak.
Tentunya, cara di atas akan terasa efektif karena masyarakat
juga akan mendapat pencerahan bahwa kita perlu bersikap santun dan
bijak dalam menghadapi aliran-aliran yang cenderung dianggap
sesat oleh kelompok atau organisasi lain. Proses dialog adalah
bagian dari spirit demokratisasi yang perlu dikembangkan lebih
lanjut dalam kehidupan keberagamaan kita di tanah air.
Pages
Minggu, 23 Mei 2010
MENJAGA FLUKTUASI HARGA SEMBAKO
Setiap kali menjelang perayaan hari-hari besar keagamaan, fluktuasi harga-harga kebutuhan pokok selalu saja terjadi. Dan bahkan bagi banyak orang, fenomena ini menjadi sesuatu yang lumrah. Pemerintah pun sering tak kuasa menghadapi persoalan dimaksud. Harga melonjak, stok di pasaran pun terkadang amat terbatas.
Di berbagai daerah kebutuhan minyak tanah sulit terpenuhi. Konversi minyak tanah ke gas belum sepenuhnya menjadi jawaban. Dan bahkan harga gas elpiji pun sudah ikut naik. Harga-harga sembako lainnya pun sudah melampaui batas-batas kewajaran.
Jika harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi, tentu masyarakatlah yang dirugikan. Perayaan hari-hari besar keagamaan yang seyogianya dirayakan dengan suka cita, berobah menjadi ratapan kepedihan. Dan sialnya, persoalan seperti ini selalu saja muncul setiap tahunnya, tanpa pernah ada solusi yang bijaksana.
Pemerintah yang memegang peran sebagai regulator, hendaknya mampu mengendalikan sesuatu yang mendatangkan keresahan bagi masyarakat ini. Ulah para spekulan, harus diantisipasi. Kini, ketika bulan Ramadhan yang sudah didepan mata, akan menjadi momentum untuk melihat sejauh mana kesigapan pemerintah tersebut.
Oleh karena itu, pemerintah melalui instansi terkait harus pro aktif. Berbagai terobosan harus dilakukan. Jangan menunda waktu lagi. Masyarakat sangat mengharapkan solusi dari pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai regulator. Sebab, tak dapat dipungkiri bahwa dengan melonjaknya harga-harga sembako tersebut telah membuat warga masyarakat menjerit. Kejadian seperti ini bahkan sudah terjadi di hampir semua daerah.
Kita menyadari bahwa kenaikan harga-harga kebutuhan pokok adalah kejadian yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Efek variabel yang ditimbulkannya pun sangat banyak. Dan jika tidak ada upaya nyata untuk setidaknya meminimalisir pertautan antara kebutuhan pokok yang satu dengan yang lain, maka akan menimbulkan implikasi yang beragam. Inilah problema serius yang harus disikapi dengan bijak.
Harga minyak goreng curah belum bisa dituntaskan, kini kelangkaan minyak tanah pun sering terjadi. Kebijakan pemerintah untuk melakukan konversi dari minyak tanah ke gas elpiji ternyata telah menimbulkan efek domino. Masyarakat yang belum siap, ternyata dipaksa untuk melakukan sesuatu yang jauh dari jangkauannya.
Kebijakan pemerintah tersebut akhirnya berpengaruh pada subsidi dan jatah distribusi minyak tanah di daerah tertentu. Pengurangan jatah tersebut telah dengan signifikan mempengaruhi volume minyak tanah yang beredar di pasaran.
Dengan demikian tuntutan akan minyak tanah tetap masih tinggi. Padahal ketersediaan masih amat terbatas. Akibatnya kelangkaan minyak tanah menjadi rongrongan penderitaan bagi masyarakat. Lagi-lagi, kelangkaan minyak tanah telah menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Dan jika dikaitkan dengan berbagai dimensi kehidupan, krisis minyak tanah ini telah menimbulkan implikasi yang sangat besar bagi kehidupan di masyarakat.
Kemudian, akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, masyarakat pun menjadi resah. Kecemasan dan kepanikan datang menghantui. Sekalipun pemerintah menghimbau agar masyarakat tidak panik, akan tetapi jika kenyataannya kelangkaan lonjakan harga-harga terus terjadi, maka kepanikan dimaksud sulit untuk dihindari.
Pemerintah harus mampu mengendalikan harga-harga sembako. Lonjakan harga hanya akan semakin meresahkan masyarakat. Pada gilirannya juga akan menyebabkan daya beli masyarakat menjadi rendah. Daya beli juga akan berpengaruh pada pola konsumsi dan transaksi ekonomi yang pada gilirannya akan menyebabkan semakin bertambahnya jumlah rakyat miskin.
Perayaan hari-hari besar keagamaan seharusnya membawa kebahagiaan bagi masyarakat, bukan justru diperhadapkan kepada persoalan-persoalan hidup sehari-hari.
Di berbagai daerah kebutuhan minyak tanah sulit terpenuhi. Konversi minyak tanah ke gas belum sepenuhnya menjadi jawaban. Dan bahkan harga gas elpiji pun sudah ikut naik. Harga-harga sembako lainnya pun sudah melampaui batas-batas kewajaran.
Jika harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi, tentu masyarakatlah yang dirugikan. Perayaan hari-hari besar keagamaan yang seyogianya dirayakan dengan suka cita, berobah menjadi ratapan kepedihan. Dan sialnya, persoalan seperti ini selalu saja muncul setiap tahunnya, tanpa pernah ada solusi yang bijaksana.
Pemerintah yang memegang peran sebagai regulator, hendaknya mampu mengendalikan sesuatu yang mendatangkan keresahan bagi masyarakat ini. Ulah para spekulan, harus diantisipasi. Kini, ketika bulan Ramadhan yang sudah didepan mata, akan menjadi momentum untuk melihat sejauh mana kesigapan pemerintah tersebut.
Oleh karena itu, pemerintah melalui instansi terkait harus pro aktif. Berbagai terobosan harus dilakukan. Jangan menunda waktu lagi. Masyarakat sangat mengharapkan solusi dari pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai regulator. Sebab, tak dapat dipungkiri bahwa dengan melonjaknya harga-harga sembako tersebut telah membuat warga masyarakat menjerit. Kejadian seperti ini bahkan sudah terjadi di hampir semua daerah.
Kita menyadari bahwa kenaikan harga-harga kebutuhan pokok adalah kejadian yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Efek variabel yang ditimbulkannya pun sangat banyak. Dan jika tidak ada upaya nyata untuk setidaknya meminimalisir pertautan antara kebutuhan pokok yang satu dengan yang lain, maka akan menimbulkan implikasi yang beragam. Inilah problema serius yang harus disikapi dengan bijak.
Harga minyak goreng curah belum bisa dituntaskan, kini kelangkaan minyak tanah pun sering terjadi. Kebijakan pemerintah untuk melakukan konversi dari minyak tanah ke gas elpiji ternyata telah menimbulkan efek domino. Masyarakat yang belum siap, ternyata dipaksa untuk melakukan sesuatu yang jauh dari jangkauannya.
Kebijakan pemerintah tersebut akhirnya berpengaruh pada subsidi dan jatah distribusi minyak tanah di daerah tertentu. Pengurangan jatah tersebut telah dengan signifikan mempengaruhi volume minyak tanah yang beredar di pasaran.
Dengan demikian tuntutan akan minyak tanah tetap masih tinggi. Padahal ketersediaan masih amat terbatas. Akibatnya kelangkaan minyak tanah menjadi rongrongan penderitaan bagi masyarakat. Lagi-lagi, kelangkaan minyak tanah telah menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Dan jika dikaitkan dengan berbagai dimensi kehidupan, krisis minyak tanah ini telah menimbulkan implikasi yang sangat besar bagi kehidupan di masyarakat.
Kemudian, akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, masyarakat pun menjadi resah. Kecemasan dan kepanikan datang menghantui. Sekalipun pemerintah menghimbau agar masyarakat tidak panik, akan tetapi jika kenyataannya kelangkaan lonjakan harga-harga terus terjadi, maka kepanikan dimaksud sulit untuk dihindari.
Pemerintah harus mampu mengendalikan harga-harga sembako. Lonjakan harga hanya akan semakin meresahkan masyarakat. Pada gilirannya juga akan menyebabkan daya beli masyarakat menjadi rendah. Daya beli juga akan berpengaruh pada pola konsumsi dan transaksi ekonomi yang pada gilirannya akan menyebabkan semakin bertambahnya jumlah rakyat miskin.
Perayaan hari-hari besar keagamaan seharusnya membawa kebahagiaan bagi masyarakat, bukan justru diperhadapkan kepada persoalan-persoalan hidup sehari-hari.
MENANGGULANGI BANJIR DENGAN SISTEM POLDER
Gubernur DKI Sutiyoso menyatakan akan menggunakan sistem polder untuk menanggulangi banjir di Jakarta, khususnya untuk 40% wilayah Jakarta yang katanya berada di bawah permukaan laut. Sistem polder ini telah direncanakan oleh Herman van Breen dan tim (dengan banjir kanal barat dan timur) ketika merancang kota sebagai respon terhadap banjir besar yang melanda Batavia tahun 1918. Namun sayangnya rencana yang bagus ini belum bisa terealisasi sepenuhnya hingga saat ini. Di Jakarta sendiri sistem polder ini sebenarnya sudah diterapkan di kawasan perumahan elit di tepi laut Jakarta Utara. Polder adalah sekumpulan dataran rendah yang membentuk kesatuan hidrologis artifisial yang dikelilingi oleh tanggul (dijk/dike). Pada daerah polder, air buangan (air kotor dan air hujan) dikumpulkan di suatu badan air (sungai, situ) lalu dipompakan ke badan air lain pada polder yang lebih tinggi posisinya, hingga pada akhirnya air dipompakan ke sungai atau kanal yang langsung bermuara ke laut. Tanggul yang mengelilingi polder bisa berupa pemadatan tanah dengan lapisan kedap air, dinding batu, bisa juga berupa konstruksi beton dan perkerasan yang canggih. Polder juga bisa diartikan sebagai tanah yang direkalamasi. Sistem polder banyak diterapkan pada reklamasi laut atau muara sungai, dan juga pada manajemen air buangan (air kotor dan drainase hujan) di daerah yang lebih rendah dari muka air laut dan sungai.
Polder identik dengan negeri kincir angin Belanda yang seperempat wilayahnya berada di bawah muka laut dan memiliki lebih dari 3000 polder. Sebelum ditemukannya mesin pompa, kincir angin digunakan untuk menaikkan air dari suatu polder ke polder lain yang lebih tinggi. Bicara tentang banjir kita perlu banyak belajar dari negara ini yang sudah kenyang bergulat memerangi banjir sejak abad ke-17 karena morfologi alamnya sebagian besar yang berupa rawa dan dataran rendah. Di negara ini, ancaman banjir datang secara rutin dari laut melalui gelombang pasang dan ganasnya badai Laut Utara, ataupun dari luapan sungai Ijssel, Maar, dan Rijn akibat mencairnya es di hilir sungai pada akhir musim dingin. Sistem polder dipakai untuk mengeluarkan air dari dataran rendah dan juga menangkal banjir di wilayah delta dan daerah aliran sungai. Di negara ini, rencana penanganan banjir ditetapkan pada level nasional, provinsi, dan kotapraja. Terdapat Badan Manajemen Air yang sejajar dengan pemerintahan lokal dan berperan khusus dalam perencanaan, manajemen aktivitas yang berkait dengan air, juga upaya mitigasi bencana banjir. Upaya penanganan banjir juga melibatkan masalah penyediaan perumahan, tempat kerja, suplai air minum, pertanian, lingkungan ekologis, galian mineral, bahkan pariwisata dan rekreasi. Sungai Rijn (Rheine) yang menyebabkan banjir adalah lintasan jalur wisata perahu pesiar yang bermula di Swis, melewati Jerman, dan berakhir di Belanda.
Berkaitan dengan aspek ruang, bermacam kemungkinan terjadinya banjir (ketinggian, daerah tergenang) dari beragam periode ulang (return period) dikaji untuk menentukan sistem pengaliran air dan batas polder. Ada beberapa daerah di sekitar badan sungai yang memang disiapkan untuk digenangi ketika banjir besar (periode yang lebih lama) melanda. Daerah ini biasanya dimanfaatkan untuk fungsi pertanian atau daerah hijau. Ketentuan sempadan sungai dan tanggul juga diterapkan untuk menjamin tidak ada bangunan pada daerah tersebut. Kontrol pada pemanfaatan lahan agar sesuai dengan peruntukannya amatlah ketat, dimulai dari kelayakan pada saat perijinan, pengawasan rutin, hingga penggunaan foto udara kawasan. Selain ditunjang sumberdaya manusia, teknologi, dan finansial, upaya penegakan hukum dan peraturan merupakan salah satu kunci keberhasilan penanggulangan banjir di negara ini. Untuk menerapkan sistem polder di Jakarta, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, pemanfaatan lahan di sekitar tanggul harus dikontrol seketat mungkin, paling tidak sepanjang bantaran sungai dan tanggul kanal harus bebas dari bangunan dan permukiman liar. Daerah ini memiliki resiko tertinggi bila terjadi banjir. Alternatif pemanfaatannya bisa berupa taman ataupun jalan. Berkait dengan tata ruang secara umum, penegakan ketentuan tata ruang seperti guna lahan (land use) dan koefisien dasar bangunan (KDB) juga harus benar-benar dilaksanakan, tidak sekadar menjadi proyek untuk menghabiskan anggaran pemerintah.
Kedua, ketika semua air buangan dialirkan ke laut, ancaman banjir dari laut juga perlu diperhatikan. Bukan tidak mungkin gelombang pasang akan membanjiri kota melalui kanal banjir yang ada. Mungkin saja diperlukan pintu atau gerbang kanal yang bisa dibuka-tutup sewaktu-waktu. Ketiga, sistem polder amatlah bergantung pada lancarnya saluran air, kanal, sungai, serta kinerja mesin-mesin yang memompa air keluar dari daerah polder. Aspek perawatan (sumber daya manusia dan peralatan) perlu mendapat perhatian dalam bentuk program kerja dan anggaran. Yang terjadi selama ini kita lebih pandai mengadakan sarana dan prasarana publik ketimbang merawatnya.
Keempat, resapan air hujan perlu lebih dimaksimalkan melalui daerah resapan mikro seperti taman, kolam, perkerasan yang permeabel, dan sumur resapan. Prinsipnya adalah mengurangi buangan air hujan ke sungai dan memperbanyak resapannya ke dalam tanah. Disini, peran arsitek, kontraktor, dan pemilik properti amatlah penting untuk mengalokasikan sebagian lahannya untuk fungsi resapan seperti taman rumput (bertanah) dan sumur resapan. Daerah resapan yang tidak terlalu luas namun jika banyak jumlahnya dan tersebar di seluruh penjuru kota tentu akan memberikan kontribusi yang signifikan untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah. Sistem polder merupakan upaya struktural penanggulangan banjir yang konsekuensinya jelas adalah biaya yang amatlah besar dan waktu yang lama, baik untuk pembebasan tanah, pembangunan fisik, maupun untuk pengadaan dan perawatan mesin-mesin dan peralatan. Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah upaya non-struktural yang berkaitan dengan pendidikan publik. Upaya membangun kesadaran seperti tidak membuang sampah di saluran air, memperbanyak penanaman pohon, menggunakan perkerasan grass-block dan paving-block yang permeabel, atau bahkan bagaimana bersikap ketika banjir datang akan jauh lebih berguna untuk mencegah banjir dan meminimalisir kerugian akibat banjir yang bisa datang setiap tahun.
Polder identik dengan negeri kincir angin Belanda yang seperempat wilayahnya berada di bawah muka laut dan memiliki lebih dari 3000 polder. Sebelum ditemukannya mesin pompa, kincir angin digunakan untuk menaikkan air dari suatu polder ke polder lain yang lebih tinggi. Bicara tentang banjir kita perlu banyak belajar dari negara ini yang sudah kenyang bergulat memerangi banjir sejak abad ke-17 karena morfologi alamnya sebagian besar yang berupa rawa dan dataran rendah. Di negara ini, ancaman banjir datang secara rutin dari laut melalui gelombang pasang dan ganasnya badai Laut Utara, ataupun dari luapan sungai Ijssel, Maar, dan Rijn akibat mencairnya es di hilir sungai pada akhir musim dingin. Sistem polder dipakai untuk mengeluarkan air dari dataran rendah dan juga menangkal banjir di wilayah delta dan daerah aliran sungai. Di negara ini, rencana penanganan banjir ditetapkan pada level nasional, provinsi, dan kotapraja. Terdapat Badan Manajemen Air yang sejajar dengan pemerintahan lokal dan berperan khusus dalam perencanaan, manajemen aktivitas yang berkait dengan air, juga upaya mitigasi bencana banjir. Upaya penanganan banjir juga melibatkan masalah penyediaan perumahan, tempat kerja, suplai air minum, pertanian, lingkungan ekologis, galian mineral, bahkan pariwisata dan rekreasi. Sungai Rijn (Rheine) yang menyebabkan banjir adalah lintasan jalur wisata perahu pesiar yang bermula di Swis, melewati Jerman, dan berakhir di Belanda.
Berkaitan dengan aspek ruang, bermacam kemungkinan terjadinya banjir (ketinggian, daerah tergenang) dari beragam periode ulang (return period) dikaji untuk menentukan sistem pengaliran air dan batas polder. Ada beberapa daerah di sekitar badan sungai yang memang disiapkan untuk digenangi ketika banjir besar (periode yang lebih lama) melanda. Daerah ini biasanya dimanfaatkan untuk fungsi pertanian atau daerah hijau. Ketentuan sempadan sungai dan tanggul juga diterapkan untuk menjamin tidak ada bangunan pada daerah tersebut. Kontrol pada pemanfaatan lahan agar sesuai dengan peruntukannya amatlah ketat, dimulai dari kelayakan pada saat perijinan, pengawasan rutin, hingga penggunaan foto udara kawasan. Selain ditunjang sumberdaya manusia, teknologi, dan finansial, upaya penegakan hukum dan peraturan merupakan salah satu kunci keberhasilan penanggulangan banjir di negara ini. Untuk menerapkan sistem polder di Jakarta, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, pemanfaatan lahan di sekitar tanggul harus dikontrol seketat mungkin, paling tidak sepanjang bantaran sungai dan tanggul kanal harus bebas dari bangunan dan permukiman liar. Daerah ini memiliki resiko tertinggi bila terjadi banjir. Alternatif pemanfaatannya bisa berupa taman ataupun jalan. Berkait dengan tata ruang secara umum, penegakan ketentuan tata ruang seperti guna lahan (land use) dan koefisien dasar bangunan (KDB) juga harus benar-benar dilaksanakan, tidak sekadar menjadi proyek untuk menghabiskan anggaran pemerintah.
Kedua, ketika semua air buangan dialirkan ke laut, ancaman banjir dari laut juga perlu diperhatikan. Bukan tidak mungkin gelombang pasang akan membanjiri kota melalui kanal banjir yang ada. Mungkin saja diperlukan pintu atau gerbang kanal yang bisa dibuka-tutup sewaktu-waktu. Ketiga, sistem polder amatlah bergantung pada lancarnya saluran air, kanal, sungai, serta kinerja mesin-mesin yang memompa air keluar dari daerah polder. Aspek perawatan (sumber daya manusia dan peralatan) perlu mendapat perhatian dalam bentuk program kerja dan anggaran. Yang terjadi selama ini kita lebih pandai mengadakan sarana dan prasarana publik ketimbang merawatnya.
Keempat, resapan air hujan perlu lebih dimaksimalkan melalui daerah resapan mikro seperti taman, kolam, perkerasan yang permeabel, dan sumur resapan. Prinsipnya adalah mengurangi buangan air hujan ke sungai dan memperbanyak resapannya ke dalam tanah. Disini, peran arsitek, kontraktor, dan pemilik properti amatlah penting untuk mengalokasikan sebagian lahannya untuk fungsi resapan seperti taman rumput (bertanah) dan sumur resapan. Daerah resapan yang tidak terlalu luas namun jika banyak jumlahnya dan tersebar di seluruh penjuru kota tentu akan memberikan kontribusi yang signifikan untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah. Sistem polder merupakan upaya struktural penanggulangan banjir yang konsekuensinya jelas adalah biaya yang amatlah besar dan waktu yang lama, baik untuk pembebasan tanah, pembangunan fisik, maupun untuk pengadaan dan perawatan mesin-mesin dan peralatan. Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah upaya non-struktural yang berkaitan dengan pendidikan publik. Upaya membangun kesadaran seperti tidak membuang sampah di saluran air, memperbanyak penanaman pohon, menggunakan perkerasan grass-block dan paving-block yang permeabel, atau bahkan bagaimana bersikap ketika banjir datang akan jauh lebih berguna untuk mencegah banjir dan meminimalisir kerugian akibat banjir yang bisa datang setiap tahun.
PERAN PENDIDIKAN DALAM MENGATASI PERGAULAN BEBAS DI KALANGAN REMAJA KINI
Masa remaja bagi sebagian besar orang merupakan masa-masa transisi, dari anak-anak menjadi dewasa. Pada masa ini, seringkali remaja mengalami masa “pencarian identitas”. Berbagai usaha dilakukan oleh para remaja untuk menunjukkan eksistensi diri mereka. Mulai dari gaya berbusana, maupun mengikuti kontes ajang bakat. Pergaulan menjadi kunci sejauh mana mereka dapat menunjukkan eksistensi dirinya. Pergaulan yang bebas terkadang membuat para remaja tidak dapat mengontrol dirinya, sehingga mereka terjerumus terlalu jauh. Banyak contoh, misalnya : free sex, pemakaian narkoba, drag race, dan lain sebagainya.
Sebab pergaulan bebas
Ada banyak hal yang menyebabkan para remaja ini terjerumus dalam pergaulan bebas, antara lain :
a. Kurangnya perhatian dari orang tua,
Perceraian atau ketidakharmonisan orang tua seringkali menjadi pemicu utama para remaja kemudian mencari pelarian atas permasalahannya, biasanya mereka mengkonsumsi narkoba maupun minuman keras, untuk melupakan sesaat permasalahan mereka. Selain itu, kesibukan orang tua juga menyebabkan orang tua tidak lagi memiliki waktu untuk sekedar mengobrol dengan anak-anak mereka, sehingga anak-anak mereka mencari cara untuk menarik perhatian mereka.
b. Penerimaan dalam kelompok,
Para remaja biasanya memiliki geng-geng atau kelompok-kelompok sepermainan. Masing-masing kelompok memiliki ciri khas sendiri, atau kegiatan khas tersendiri. Untuk dapat diterima sebagai anggota kelompok, biasanya remaja yang termasuk dalam kelompok ini harus mengikuti aturan dalam kelompok. Misalnya, cara berbusana, maupun minuman-minuman keras.
c. Kurangnya aqidah,
Pemahaman remaja tentang aqidah (Islam), yaitu tentang perintah dan larangan Allah, saat ini terasa sangat minim. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan agama di rumah, bahkan di sekolah pun pelajaran agama hanya diberikan selama dua jam pelajaran dalam satu minggu.
Keluarga sebagai sekolah pertama
Untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para remaja ini diperlukan kerjasama orang tua, sekolah, dan masyarakat. Keluarga, dalam hal ini orang tua, merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi remaja sebagai generasi penerus bangsa. Keluarga memiliki tanggung jawab yang besar dalam mencetak pemimpin bangsa. Keluarga adalah institusi pertama yang meletakkan informasi fondasi kepribdian yang kuat, dengan kata lain pendidikan di keluarga seyogyanya dimulai sejak dini, atau pada saat anak masih di dalam rahim. Pendidikan awal yang ditanamkan oleh orang tua terhadap anaknya ialah dasar aqidah yang kuat. Pada saat anak masih dalam kandungan, ia terbiasa mendengarkan kata-kata manis dan lembut dari ibunya dan lantunan ayat-ayat Al-qur’an.
Ada tiga tahap perkembangan pendidikan anak (dalam keluarga) menurut Islam. Tahap pertama, yaitu pada saat anak berusia 0-7 tahun adalah pertumbuhan balita, dimana akan sangat membutuhkan pemeliharaan dan kash sayang seorang ibu. Setelah anak mulai belajar berbicara, peranan ibu sangat vital. Sebab bahasa yang pertama kali dikenal oleh anak adalah bahasa ibu. Daam usia 6 tahun anak harus diajarkan adab sopan santun untuk membentuk akhlaqul karimah sang anak.
Pada tahap kedua, usia 7 sampai 10 tahun adalah adalah tahap pemeliharaan anak, menyampaikan nasehat-nasehat Islami, dikenalkan kewajiban-kewajibannya sebagai muslim. Tahap ta’dib (pengawasan) adalah tahap pada saat anak menjelang akil baligh (7-15 tahun). Tahap ini merupakan masa yang penting karena merupakan saat anak mengalami pubertas/perubahan. Oleh karena itu anak harus dikenakan hukuman bila melanggar kewajiban yang dibebankan kepadanya.
“Suruhlah anakmu mengerjakan shalat pada usia 7 tahun dan pukullah pada usia 10 tahun bila mereka tidak shalat, pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR. Al Hakim dan Abu Daud)
Tahap ketiga, jika anak telah mencapai usia baligh (lebih kurang ), dapat dikatakan anak memasuki tahap penyempurnaan kepribadian (dewasa) dan mulai dibebankan kepada tanggung jawab. Dalam hal ini anak mulai dikenalkan cara mandiri untuk mencari nafkah dan lebih bertanggung jawab dengan dirinya sendiri.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal
Setelah anak memasuki usia 5 tahun, peran keluarga dan masyarakat (lingkungan) tidak lagi mencukupi kebutuhan pendidikan anak. Pada usia ini anak perlu mendapatkan proses yang terstruktur dalam suatu kurikulum. Satu-satunya lembaga yang mampu menyelenggarakan fungsi in adalah sekolah. Pendidikan di sekolah dilakukan berjenjang : tingkat dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Proses pendidikan di suatu jenjang seharusnya dikembangkan serta dikokohkan di jenjang berikutnya
Sekolah melaksanakan peran pendidikan ini melalui tiga perangkat, yaitu: kurikulum berlandaskan aqidah Islam, guru/tenaga pendidikan yang profesional serta berkepribadian Islam, serta sarana dan prasarana yang kondusif untuk melakukan proses pembentukan sifat adil dan kapabilitas kepemimpinan pada anak. Pendidikan kepribadian Islam di sekolah harus dilakukan pada semua jenjang pendidikan sesuai dengan proporsinya, dengan berbagai pendekatan.
Kurikulum di sekolah harus disesuaikan dengan perkembangan anak, dan sesuai dengan Islam, tentunya. Pada tingkat TK sampai SD, matri kepribadian Islam yang diajarkan adalah materi-materi dasar. Hal ini mengingat anak didik berada pada usia menuju baligh, sehingga lebih banyak materi yang bersifat pengenalan guna menumbuhkan keimanan. Setelah mencapai usia baligh (SMP, SMU, dan Perguruan Tinggi), materi yang diberikan bersifat lanjutan : pembentukan, peningkatan, dan pematangan. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara dan sekaligus meningkatkan keimanan serta keterikatan terhadap syariat Islam.
Selain kurikulum yang berlandaskan aqidah Islam, guru dan pengelola pendidikan juga berperan penting dalam pembentukan kepribadian siswa. Untuk bisa memberikan materi secara forma struktural dan nonstruktural guru harus menguasai materi dan mampu menyajikannya dengan baik. Guru tidak hanya berperan sebagai penyampai materi semata, akan tetapi lebih jauh lagi berperan sebagai tauladan (uswah) yang baik. Tanpa teladan dari guru sulit diharapkan tertanamnya kepribadian Islam pada anak didik.
Budaya sekolah merupakan proses yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam proses pendidikan. Contohnya: mengingatkan teman (sesama siswa) yang berbuat tidak baik, dengan cara yang ma’ruf. Atau pihak sekolah memberikan sanksi yang tegas bagi mereka yang tidak menutup aurat (menojolkan aurat / berpakaian tidak sopan), bergaul yang tidak Islami, membuang sampah sembarangan, dan lain sebagainya.
Masyarakat sebagai “polisi sosial”
Kontrol dari masyarakat juga diperlukan guna mengatasi bahaya yang lebih besar lagi, karena lingkungan masyarakat merupakan tempat remaja tersebut hidup. Masyarakat merupakan lingkup pendidikan nonformal, dimana remaja belajar bersosialisasi dan menerapkan apa yang ia dapatkan dari keluarga dan sekolah. Selain itu, dengan besosialisasi dengan masyarakat dan lingkungannya, remaja juga belajar tentang norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat, misalnya norma kesopanan, norma susila, norma hukum, dan lain sebagainya. Kontrol dari masyarakat juga diperlukan untuk membentuk perilaku remaja itu. Masyarakatlah yang mengingatkan para remaja yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, misalnya : drag race liar, remaja berlainan jenis yang berdua-duaan, dan lain sebagainya. Namun, kondisi yang sekarang ini dalam masyarakat sudah mulai terkesampingkan. Masyarakat tidak lagi menjadi “polisi sosial”.
Dengan dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan sinergi dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Diharapkan kerjasama dari ketiganya akan mampu mengatasi bahaya pergaulan bebas di kalangan remaja. Keluarga bukan hanya tempat para remaja ini untuk menumpang hidup, makan dan tidur semata, melainkan di dalam keluarga para remaja akan memperoleh pendidikan informal sebagai bekal mereka hidup di luar lingkungan keluarganya. Jangan sampai keluarga hanya tahu mereka baik di dalam rumah, tetapi di luar rumah mereka lepas kendali. Jadi, harus ada komunikasi di antara kedua belah pihak. Sekolah juga bukan hanya tempat ia mencari ilmu, melainkan juga sebagai tempat ia untuk belajar mandiri dan bersosialisasi dengan masyarakat. Masyarakat sebagai “polisi sosial” harus mampu mengontrol tingkah laku para remaja. Masyarakat tidak boleh bertindak masa bodoh, acuh tak acuh melihat pergaulan para remaja yang sudah melanggar norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.
Sebab pergaulan bebas
Ada banyak hal yang menyebabkan para remaja ini terjerumus dalam pergaulan bebas, antara lain :
a. Kurangnya perhatian dari orang tua,
Perceraian atau ketidakharmonisan orang tua seringkali menjadi pemicu utama para remaja kemudian mencari pelarian atas permasalahannya, biasanya mereka mengkonsumsi narkoba maupun minuman keras, untuk melupakan sesaat permasalahan mereka. Selain itu, kesibukan orang tua juga menyebabkan orang tua tidak lagi memiliki waktu untuk sekedar mengobrol dengan anak-anak mereka, sehingga anak-anak mereka mencari cara untuk menarik perhatian mereka.
b. Penerimaan dalam kelompok,
Para remaja biasanya memiliki geng-geng atau kelompok-kelompok sepermainan. Masing-masing kelompok memiliki ciri khas sendiri, atau kegiatan khas tersendiri. Untuk dapat diterima sebagai anggota kelompok, biasanya remaja yang termasuk dalam kelompok ini harus mengikuti aturan dalam kelompok. Misalnya, cara berbusana, maupun minuman-minuman keras.
c. Kurangnya aqidah,
Pemahaman remaja tentang aqidah (Islam), yaitu tentang perintah dan larangan Allah, saat ini terasa sangat minim. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan agama di rumah, bahkan di sekolah pun pelajaran agama hanya diberikan selama dua jam pelajaran dalam satu minggu.
Keluarga sebagai sekolah pertama
Untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para remaja ini diperlukan kerjasama orang tua, sekolah, dan masyarakat. Keluarga, dalam hal ini orang tua, merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi remaja sebagai generasi penerus bangsa. Keluarga memiliki tanggung jawab yang besar dalam mencetak pemimpin bangsa. Keluarga adalah institusi pertama yang meletakkan informasi fondasi kepribdian yang kuat, dengan kata lain pendidikan di keluarga seyogyanya dimulai sejak dini, atau pada saat anak masih di dalam rahim. Pendidikan awal yang ditanamkan oleh orang tua terhadap anaknya ialah dasar aqidah yang kuat. Pada saat anak masih dalam kandungan, ia terbiasa mendengarkan kata-kata manis dan lembut dari ibunya dan lantunan ayat-ayat Al-qur’an.
Ada tiga tahap perkembangan pendidikan anak (dalam keluarga) menurut Islam. Tahap pertama, yaitu pada saat anak berusia 0-7 tahun adalah pertumbuhan balita, dimana akan sangat membutuhkan pemeliharaan dan kash sayang seorang ibu. Setelah anak mulai belajar berbicara, peranan ibu sangat vital. Sebab bahasa yang pertama kali dikenal oleh anak adalah bahasa ibu. Daam usia 6 tahun anak harus diajarkan adab sopan santun untuk membentuk akhlaqul karimah sang anak.
Pada tahap kedua, usia 7 sampai 10 tahun adalah adalah tahap pemeliharaan anak, menyampaikan nasehat-nasehat Islami, dikenalkan kewajiban-kewajibannya sebagai muslim. Tahap ta’dib (pengawasan) adalah tahap pada saat anak menjelang akil baligh (7-15 tahun). Tahap ini merupakan masa yang penting karena merupakan saat anak mengalami pubertas/perubahan. Oleh karena itu anak harus dikenakan hukuman bila melanggar kewajiban yang dibebankan kepadanya.
“Suruhlah anakmu mengerjakan shalat pada usia 7 tahun dan pukullah pada usia 10 tahun bila mereka tidak shalat, pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR. Al Hakim dan Abu Daud)
Tahap ketiga, jika anak telah mencapai usia baligh (lebih kurang ), dapat dikatakan anak memasuki tahap penyempurnaan kepribadian (dewasa) dan mulai dibebankan kepada tanggung jawab. Dalam hal ini anak mulai dikenalkan cara mandiri untuk mencari nafkah dan lebih bertanggung jawab dengan dirinya sendiri.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal
Setelah anak memasuki usia 5 tahun, peran keluarga dan masyarakat (lingkungan) tidak lagi mencukupi kebutuhan pendidikan anak. Pada usia ini anak perlu mendapatkan proses yang terstruktur dalam suatu kurikulum. Satu-satunya lembaga yang mampu menyelenggarakan fungsi in adalah sekolah. Pendidikan di sekolah dilakukan berjenjang : tingkat dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Proses pendidikan di suatu jenjang seharusnya dikembangkan serta dikokohkan di jenjang berikutnya
Sekolah melaksanakan peran pendidikan ini melalui tiga perangkat, yaitu: kurikulum berlandaskan aqidah Islam, guru/tenaga pendidikan yang profesional serta berkepribadian Islam, serta sarana dan prasarana yang kondusif untuk melakukan proses pembentukan sifat adil dan kapabilitas kepemimpinan pada anak. Pendidikan kepribadian Islam di sekolah harus dilakukan pada semua jenjang pendidikan sesuai dengan proporsinya, dengan berbagai pendekatan.
Kurikulum di sekolah harus disesuaikan dengan perkembangan anak, dan sesuai dengan Islam, tentunya. Pada tingkat TK sampai SD, matri kepribadian Islam yang diajarkan adalah materi-materi dasar. Hal ini mengingat anak didik berada pada usia menuju baligh, sehingga lebih banyak materi yang bersifat pengenalan guna menumbuhkan keimanan. Setelah mencapai usia baligh (SMP, SMU, dan Perguruan Tinggi), materi yang diberikan bersifat lanjutan : pembentukan, peningkatan, dan pematangan. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara dan sekaligus meningkatkan keimanan serta keterikatan terhadap syariat Islam.
Selain kurikulum yang berlandaskan aqidah Islam, guru dan pengelola pendidikan juga berperan penting dalam pembentukan kepribadian siswa. Untuk bisa memberikan materi secara forma struktural dan nonstruktural guru harus menguasai materi dan mampu menyajikannya dengan baik. Guru tidak hanya berperan sebagai penyampai materi semata, akan tetapi lebih jauh lagi berperan sebagai tauladan (uswah) yang baik. Tanpa teladan dari guru sulit diharapkan tertanamnya kepribadian Islam pada anak didik.
Budaya sekolah merupakan proses yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam proses pendidikan. Contohnya: mengingatkan teman (sesama siswa) yang berbuat tidak baik, dengan cara yang ma’ruf. Atau pihak sekolah memberikan sanksi yang tegas bagi mereka yang tidak menutup aurat (menojolkan aurat / berpakaian tidak sopan), bergaul yang tidak Islami, membuang sampah sembarangan, dan lain sebagainya.
Masyarakat sebagai “polisi sosial”
Kontrol dari masyarakat juga diperlukan guna mengatasi bahaya yang lebih besar lagi, karena lingkungan masyarakat merupakan tempat remaja tersebut hidup. Masyarakat merupakan lingkup pendidikan nonformal, dimana remaja belajar bersosialisasi dan menerapkan apa yang ia dapatkan dari keluarga dan sekolah. Selain itu, dengan besosialisasi dengan masyarakat dan lingkungannya, remaja juga belajar tentang norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat, misalnya norma kesopanan, norma susila, norma hukum, dan lain sebagainya. Kontrol dari masyarakat juga diperlukan untuk membentuk perilaku remaja itu. Masyarakatlah yang mengingatkan para remaja yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, misalnya : drag race liar, remaja berlainan jenis yang berdua-duaan, dan lain sebagainya. Namun, kondisi yang sekarang ini dalam masyarakat sudah mulai terkesampingkan. Masyarakat tidak lagi menjadi “polisi sosial”.
Dengan dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan sinergi dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Diharapkan kerjasama dari ketiganya akan mampu mengatasi bahaya pergaulan bebas di kalangan remaja. Keluarga bukan hanya tempat para remaja ini untuk menumpang hidup, makan dan tidur semata, melainkan di dalam keluarga para remaja akan memperoleh pendidikan informal sebagai bekal mereka hidup di luar lingkungan keluarganya. Jangan sampai keluarga hanya tahu mereka baik di dalam rumah, tetapi di luar rumah mereka lepas kendali. Jadi, harus ada komunikasi di antara kedua belah pihak. Sekolah juga bukan hanya tempat ia mencari ilmu, melainkan juga sebagai tempat ia untuk belajar mandiri dan bersosialisasi dengan masyarakat. Masyarakat sebagai “polisi sosial” harus mampu mengontrol tingkah laku para remaja. Masyarakat tidak boleh bertindak masa bodoh, acuh tak acuh melihat pergaulan para remaja yang sudah melanggar norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.
PENCABUTAN SUBSIDI DAN NEOLIBERALISME
Selama ini, bangsa Indonesia sedang mengalami suatu masa-masa sulit karena adanya pencabutan subsidi oleh pemerintah yang mempunyai efek domino terhadap kondisi perekonomian nasional secara keseluruhan. Biaya transportasi mulai naik yang selanjutnya diiringi dengan melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok, dan fenomena ini semakin saja memberatkan kondisi masyarakat yang sebelumnya juga mengalami banyak cobaan akan pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Hari-hari semakin berat untuk dilalui, mereka semakin terjepit oleh melambungnya kebutuhan sehari-hari yang berimbas pada menurunnya standar hidup. Artinya, ancaman meningkatnya angka kemiskinan strukturalis akan menghantui proses pemulihan ekonomi Indonesia, dan didalamnya terjadi proses marginalisasi secara sistematis. Akibatnya, hampir dapat dipastikan, angka jumlah penduduk miskin juga akan bertambah karena mereka semakin terhimpit akan kondisi ekonomi yang semakin terpuruk.
Jika ditilik dari akar penyebab pencabutan subsidi subsidi selama ini, menurut versi pemerintah, pencabutan subsidi dilakukan karena tidak tepat sasaran, pemborosan terhadap anggaran, dan memotivasi masyarakat agar menggunakan sumber alternatif lainnya. Karena itu, pemerintah dengan solusi kompensasi untuk rakyat miskin semakin masif untuk melaksanakannya. Tetapi, dalam realitas yang sebelumnya telah terjadi, kompensasi itu hanyalah lips service belaka agar rakyat tidak sering protes dan “tenang” menghadapi kenaikan harga. Kompensasi itu hanya bersifat insidental dan aksidental, terus, apa arti dari kompensasi sesungguhnya? Inilah pertanyaan yang mungkin perlu dipahami secara arif dan bersama-sama. Dari kasus ini juga dapat diambil benang merah atas fenomena-fenomena serupa (pencabutan subsidi), yaitu : pencabutan suatu subsidi oleh pemerintah akan selalu diimbangi dengan retorika kompensasi (subsidi silang) yang pada dasarnya hanyalah topeng untuk menutupi adanya ketidakadilan dalam kebijakan tersebut.
Bagaimana Memahami Proses Ini ?
Untuk memahami fenomena ini, kita dapat menggunakan tiga level analisis yang ditawarkan oleh Spanier untuk dijadikan instrumen dalam mengamati proses lahirnya kebijakan yang merugikan rakyat tersebut. Ketiga level analisis tersebut mempunyai dasar perspektif berbeda terhadap realitas yang telah, sedang, atau akan terjadi dalam tataran teknik penjelasan kausalitas intern dan ekstern.
Level analisis pertama yaitu negara. Negara dalam konteks kesejahteraan merupakan instrumen pelaksana yang berperan sebagai ujung tombak dari proses penciptaan kesejahteraan bersama, subsidi merupakan salah satu dari mekanisme ini. Apabila subsidi dicabut oleh pemerintah, maka arah dari tujuan negara lenyap karena didalamnya tidak ada perlindungan terhadap masyarakat rentan yang selanjutnya akan semakin memarginalkan mereka. Artinya negara telah kehilangan salah satu fungsinya, menciptakan kesejahteraan bersama yang berkeadilan sosial. Seharusnya hal ini dipahami sebagai acuan pemerintah, bukannya sebagai suatu kebijakan yang memberatkan anggaran dan menghambat pembangunan seperti retorika yang berkembang saat ini.
Level analisis kedua adalah sistem. Dalam menggunakan level analisis ini, saya menggunakan pendekatan world system seperti yang dikemukakan oleh Wallerstein sebagai pisau analisanya, karena semua negara tidak dapat lepas dari sistem internasional yang tengah berkembang dan mendominasi dalam kancah pergaulan dan politik internasional. Indonesia sebagai bagian dari sistem ini mau tidak mau harus “tunduk” dengan serangkaian aturan main yang ada di dalamnya, kecuali ada hasrat kuat untuk melawannya dengan membuat serangkaian regulasi pro-rakyat. Sedangkan sistem yang tengah berkembang saat ini ialah neoliberalisme yang berpedoman pada Thatcherisme dan Reaganisme dengan segenap aturan yang mereduksi peran negara dalam segala bidang, termasuk penciptaan kesejahteraan bersama. Dalam analisa atas fenomena ini, menurut Cosmas Lili, hal ini merupakan bentuk tantangan atas nasionalisme ditengah globalisasi yang tengah terjadi saat ini. Jika ditelaah dan ditelusuri lebih dalam, kaitan antara neoliberalisme dengan pencabutan subsidi terletak pada peran negara yang harus terus direduksi, terutama perlindungan/kepemilikan negara atas sektor-sektor publik. Dan, subsidi merupakan salah satu elemen dari sektor publik yang harus dieleminasi dari hak negara terhadap rakyatnya.
Level analisis terakhir adalah individu. Dalam kerangka ini, proses pembuatan keputusan dan karakteristik decision maker menjadi fokus perhatian analisis penyebab pencabutan subsidi. Peringkat analisis ini menjelaskan perilaku suatu negara, dengan melihat sekelompok orang yang menguasai posisi politis resmi dan bertanggung jawab dalam pembuatan kebijakan. Artinya, terbentuknya suatu kebijakan seringkali diwarnai oleh karakteristik seorang pemimpin yang sedang berkuasa karena hal ini berkaitan erat dengan segala sesuatu yang akan dilakukan kelak. Dalam kasus pencabutan subsidi di Indonesia selama ini, Presiden merupakan sentra dari analisis ini. Karena itu, dalam suatu negara yang ingin menciptakan kehidupan berkeadilan diperlukan seorang pemimpin yang benar-benar membela kepentingan rakyatnya.
Apa yang Harus Dilakukan ?
Pada hakikatnya, subsidi merupakan sarana pengaman sosial yang cukup efektif dalam upaya integrasi sosial karena berperan sebagai penyeimbang dari proses tersebut. Dalam konteks negara, subsidi (seharusnya) dapat dijadikan piranti untuk menunjukkan bahwa negara peduli dengan keadaan rakyat, ia sangt membanggakan bukan merupakan bahan yang patut untuk dicela. Karena itu, untuk menguatkan proses tersebut diperlukan suatu state led Development agar beragam kepentingan rakyat, terutama golongan marginal, dapat terakomodasi (Mansour Fakih). Negara harus dijadikan patokan kebijakan, bukan pasar, karena apalah artinya ada negara jika tidak ada perlindungan terhadap rakyatnya dan setiap kebijakannya tidak mencerminkan suatu kedaulatan otonom. Subsidi terhadap rakyat harus tetap ada, hal itu merupakan hak bagi negara untuk rakyat secara keseluruhan
Bagaimana dengan Kenaikan harga BBM ?
Seiring dengan kenaikan harga BBM yang per 1 Maret kemarin oleh pemerintah, banyak kalangan yang yang menanggapai secara pro atau kontra kebijakan tersebut. Pemerintah dengan retorika subsidi untuk BBM sangat besar dan tidak tepat sasaran, serta kepentingan untuk memperbesar anggaran sektor lain, menjadikan subsidi ini sebagai kambing hitam atas tidak tergarapnya sektor publik lainnya (pendidikan, kesehatan, dll). Maka hukum kausalitas atas subsidi BBM harus dilaksanakan, pemangkasan atas alasan diatas dijalankan walaupun secara realitas banyak penolakan atas kebijakan itu akibat efek domino yang akan timbul dan menjadi bumerang bagi bangsa ini. I will walk in my way, who you are?
Untuk mengatasi gelombang protes yang akan terjadi dari masyarakat akibat kebijakan kenaikan harga BBM, beragam trik persuasi dan propaganda terhadap massa semakin intens dilakukan. Setiap hari, kita disuguhi dengan candu iklan manfaat yang akan diperoleh dengan pemangkasan subsidi BBM beserta solusi yang akan ditempuh untuk membayar ongkos sosial yang pasti terjadi di beragam media, cetak maupun elektronik. Masyarakat terus dininabobokan dengan ikon-ikon rakyat dalam suguhan penuh kepalsuan yang berbentuk iklan untuk menghegemoni persepsi atas kebijakan yang akan diambil itu tidak akan terlalu merugikan. Seolah-olah kenaikan harga BBM tidak akan terlalu menyengsarakan mereka karena adanya kompensasi darinya yang langsung menyentuh kehidupan. Ia akan bergerak sesuai sasaran, dapat dinikmati semuanya, dan akan mengurangi angka kemiskinan di Indonesia serta bla…bla…bla….
Jika ditelaah lebih jauh lagi, subsidi yang berfungsi sebagai transfer kas negara kepada masyarakat (berkebalikan dengan pajak), pada dasarnya mempunyai kemampuan mendorong pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat sehingga mereka tetap dapat eksis dengan standar hidup yang layak secara kemanusiaan. Selain itu, juga berfungsi membantu kelompok yang rentan agar tidak termarginalisasi oleh kekuatan “pemangsa” yang selanjutnya dapat dijadikan pondasi integrasi sosial masyarakat pada umumnya. Apa yang terjadi apabila subsidi BBM yang mempunyai multiplayer effect signifikan terhadap harga kebutuhan dasar lainnya dipangkas? Kebutuhan dasar kelompok masyarakan rentan tersebut akan semakin terabaikan dan akan dapat mengancam pondasi integrasi sosial dalam masyarakat, walaupun akan ada kompensasi atas kenaikan tersebut pada sektor publik lainnya. Apalagi jika dilihat dari kondisi obyektif masyarakat Indonesia sekarang, ribuan korban selamat bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan daerah lainnya, maka beleid ini terkesan tidak bernurani dan berperi kemanusiaan (memang benar adanya). Dimana mereka (dan rakyat lainnya) yang seharusnya mendapatkan dukungan berupa pemberian subsidi untuk pemenuhan basic needs semakin terabaikan sehingga keterpurukan akan menghantui setiap saat.
How About Compenstation ?
Dalam konteks kompensasi beserta tetek bengeknya, hal itu merupakan kepalsuan belaka yang terus diada-adakan walaupun tidak ada, sekedar logika mistis yang dirasionalkan beragam apologia disana-sini. Why? Kita dapat melihat dari beragam kebijakan pemerintah yang paradoks dengan retorika kompensasi tersebut, semakin jauh di awang-awang dan meninggalkan kita dengan segenap janji-janjinya. Katanya untuk subsidi pendidikan, “proyek” pem-BHMN-an PTN-PTN yang ada tetap terus dilaksanakan sehingga biaya pendidikan tinggi semakin tak terjangkau semua kalangan serta biaya pendidikan dasar yang tinggi pula. Apakah itu arti dari kompensasi dari pemotongan subsidi BBM? Untuk bidang kesehatan, pola-pola ambulans zig-zag-nya Iwan Fals masih tetap ada, apakah hal ini juga makna dari kompensasi? Dan banyak contoh lainnya yang dapat dijadikan contoh betapa absurd dan retorika belaka atas nama kompensasi yang dijanjikan. Dan benar menurut Hirts dan Thompson, sektor publik merupakan sektor yang menjadi korban dari kebijakan pemerintah yang tuli akan kesejahteraan bersama karena kemudahahan didalamnya untuk diutak-atik menurut selera penguasa. Selain itu, kompensasi-kompensasi yang dijanjikan (direncanakan) sering kali hanya bersifat insidental dan aksidental sehingga apa-apa yang diharapkan oleh masyarakat sebelumnya terkubur oleh bayang-bayang kompensasi. Palsu! Dari sini, kompensasi yang di-gembar-gembor-kan sebelumnya hanya sekedar lips service untuk sekedar konsolasi agar masyarakat tidak shock dan protes pada saat-saat awal, dan untuk tahapan selanjutnya, up to you! You must walk in your own ways, I don’t know!
Dalam hal ini, pemerintah harus instropeksi atas fungsi-fungsi kesejahteraan yang menjadi tanggung jawab dari negara. Apa guna ada negara beserta perangkat-perangkatnya apabila ia hanya menjadi sekedar tukang stempel bagi kelompok tertentu, dan hanya mau “mengerti” akan keinginan “pemangsa” bukan rakyat secara keseluruhan. Negara harus dijadikan instrumen penciptaan kesejahteraan bukannya pasar yang selama ini diagung-agungkan sebab mempunyai kapital yang besar, karena didalam benaknya hanya ada satu pikiran buta, profit, profit, dan profit. Ia tidak akan mau tahu dengan agenda-agenda sosial dan usaha pengentasan kemiskinan karena memang sudah menjadi tabiat dasar yang melekat sejak ia lahir. Dan, negara beserta perangkat-perangkatnya harus mengerti akan hal itu, maka fungsi-fungsi negara sebagai alat kesejahteraan masyarakat wajib untuk ditegakkan kembali setegak-tegaknya. Ia harus lebih mandiri di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian dalam berkebudayaan seperti dalam rumusan doktrin Trisakti, sehingga negara yang kita cintai ini tidak diombang-ambingkan oleh kekuatan lain selain kekuatan yang sudah melekat dari bangsa ini, Indonesia yang berdaulat.
Jika ditilik dari akar penyebab pencabutan subsidi subsidi selama ini, menurut versi pemerintah, pencabutan subsidi dilakukan karena tidak tepat sasaran, pemborosan terhadap anggaran, dan memotivasi masyarakat agar menggunakan sumber alternatif lainnya. Karena itu, pemerintah dengan solusi kompensasi untuk rakyat miskin semakin masif untuk melaksanakannya. Tetapi, dalam realitas yang sebelumnya telah terjadi, kompensasi itu hanyalah lips service belaka agar rakyat tidak sering protes dan “tenang” menghadapi kenaikan harga. Kompensasi itu hanya bersifat insidental dan aksidental, terus, apa arti dari kompensasi sesungguhnya? Inilah pertanyaan yang mungkin perlu dipahami secara arif dan bersama-sama. Dari kasus ini juga dapat diambil benang merah atas fenomena-fenomena serupa (pencabutan subsidi), yaitu : pencabutan suatu subsidi oleh pemerintah akan selalu diimbangi dengan retorika kompensasi (subsidi silang) yang pada dasarnya hanyalah topeng untuk menutupi adanya ketidakadilan dalam kebijakan tersebut.
Bagaimana Memahami Proses Ini ?
Untuk memahami fenomena ini, kita dapat menggunakan tiga level analisis yang ditawarkan oleh Spanier untuk dijadikan instrumen dalam mengamati proses lahirnya kebijakan yang merugikan rakyat tersebut. Ketiga level analisis tersebut mempunyai dasar perspektif berbeda terhadap realitas yang telah, sedang, atau akan terjadi dalam tataran teknik penjelasan kausalitas intern dan ekstern.
Level analisis pertama yaitu negara. Negara dalam konteks kesejahteraan merupakan instrumen pelaksana yang berperan sebagai ujung tombak dari proses penciptaan kesejahteraan bersama, subsidi merupakan salah satu dari mekanisme ini. Apabila subsidi dicabut oleh pemerintah, maka arah dari tujuan negara lenyap karena didalamnya tidak ada perlindungan terhadap masyarakat rentan yang selanjutnya akan semakin memarginalkan mereka. Artinya negara telah kehilangan salah satu fungsinya, menciptakan kesejahteraan bersama yang berkeadilan sosial. Seharusnya hal ini dipahami sebagai acuan pemerintah, bukannya sebagai suatu kebijakan yang memberatkan anggaran dan menghambat pembangunan seperti retorika yang berkembang saat ini.
Level analisis kedua adalah sistem. Dalam menggunakan level analisis ini, saya menggunakan pendekatan world system seperti yang dikemukakan oleh Wallerstein sebagai pisau analisanya, karena semua negara tidak dapat lepas dari sistem internasional yang tengah berkembang dan mendominasi dalam kancah pergaulan dan politik internasional. Indonesia sebagai bagian dari sistem ini mau tidak mau harus “tunduk” dengan serangkaian aturan main yang ada di dalamnya, kecuali ada hasrat kuat untuk melawannya dengan membuat serangkaian regulasi pro-rakyat. Sedangkan sistem yang tengah berkembang saat ini ialah neoliberalisme yang berpedoman pada Thatcherisme dan Reaganisme dengan segenap aturan yang mereduksi peran negara dalam segala bidang, termasuk penciptaan kesejahteraan bersama. Dalam analisa atas fenomena ini, menurut Cosmas Lili, hal ini merupakan bentuk tantangan atas nasionalisme ditengah globalisasi yang tengah terjadi saat ini. Jika ditelaah dan ditelusuri lebih dalam, kaitan antara neoliberalisme dengan pencabutan subsidi terletak pada peran negara yang harus terus direduksi, terutama perlindungan/kepemilikan negara atas sektor-sektor publik. Dan, subsidi merupakan salah satu elemen dari sektor publik yang harus dieleminasi dari hak negara terhadap rakyatnya.
Level analisis terakhir adalah individu. Dalam kerangka ini, proses pembuatan keputusan dan karakteristik decision maker menjadi fokus perhatian analisis penyebab pencabutan subsidi. Peringkat analisis ini menjelaskan perilaku suatu negara, dengan melihat sekelompok orang yang menguasai posisi politis resmi dan bertanggung jawab dalam pembuatan kebijakan. Artinya, terbentuknya suatu kebijakan seringkali diwarnai oleh karakteristik seorang pemimpin yang sedang berkuasa karena hal ini berkaitan erat dengan segala sesuatu yang akan dilakukan kelak. Dalam kasus pencabutan subsidi di Indonesia selama ini, Presiden merupakan sentra dari analisis ini. Karena itu, dalam suatu negara yang ingin menciptakan kehidupan berkeadilan diperlukan seorang pemimpin yang benar-benar membela kepentingan rakyatnya.
Apa yang Harus Dilakukan ?
Pada hakikatnya, subsidi merupakan sarana pengaman sosial yang cukup efektif dalam upaya integrasi sosial karena berperan sebagai penyeimbang dari proses tersebut. Dalam konteks negara, subsidi (seharusnya) dapat dijadikan piranti untuk menunjukkan bahwa negara peduli dengan keadaan rakyat, ia sangt membanggakan bukan merupakan bahan yang patut untuk dicela. Karena itu, untuk menguatkan proses tersebut diperlukan suatu state led Development agar beragam kepentingan rakyat, terutama golongan marginal, dapat terakomodasi (Mansour Fakih). Negara harus dijadikan patokan kebijakan, bukan pasar, karena apalah artinya ada negara jika tidak ada perlindungan terhadap rakyatnya dan setiap kebijakannya tidak mencerminkan suatu kedaulatan otonom. Subsidi terhadap rakyat harus tetap ada, hal itu merupakan hak bagi negara untuk rakyat secara keseluruhan
Bagaimana dengan Kenaikan harga BBM ?
Seiring dengan kenaikan harga BBM yang per 1 Maret kemarin oleh pemerintah, banyak kalangan yang yang menanggapai secara pro atau kontra kebijakan tersebut. Pemerintah dengan retorika subsidi untuk BBM sangat besar dan tidak tepat sasaran, serta kepentingan untuk memperbesar anggaran sektor lain, menjadikan subsidi ini sebagai kambing hitam atas tidak tergarapnya sektor publik lainnya (pendidikan, kesehatan, dll). Maka hukum kausalitas atas subsidi BBM harus dilaksanakan, pemangkasan atas alasan diatas dijalankan walaupun secara realitas banyak penolakan atas kebijakan itu akibat efek domino yang akan timbul dan menjadi bumerang bagi bangsa ini. I will walk in my way, who you are?
Untuk mengatasi gelombang protes yang akan terjadi dari masyarakat akibat kebijakan kenaikan harga BBM, beragam trik persuasi dan propaganda terhadap massa semakin intens dilakukan. Setiap hari, kita disuguhi dengan candu iklan manfaat yang akan diperoleh dengan pemangkasan subsidi BBM beserta solusi yang akan ditempuh untuk membayar ongkos sosial yang pasti terjadi di beragam media, cetak maupun elektronik. Masyarakat terus dininabobokan dengan ikon-ikon rakyat dalam suguhan penuh kepalsuan yang berbentuk iklan untuk menghegemoni persepsi atas kebijakan yang akan diambil itu tidak akan terlalu merugikan. Seolah-olah kenaikan harga BBM tidak akan terlalu menyengsarakan mereka karena adanya kompensasi darinya yang langsung menyentuh kehidupan. Ia akan bergerak sesuai sasaran, dapat dinikmati semuanya, dan akan mengurangi angka kemiskinan di Indonesia serta bla…bla…bla….
Jika ditelaah lebih jauh lagi, subsidi yang berfungsi sebagai transfer kas negara kepada masyarakat (berkebalikan dengan pajak), pada dasarnya mempunyai kemampuan mendorong pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat sehingga mereka tetap dapat eksis dengan standar hidup yang layak secara kemanusiaan. Selain itu, juga berfungsi membantu kelompok yang rentan agar tidak termarginalisasi oleh kekuatan “pemangsa” yang selanjutnya dapat dijadikan pondasi integrasi sosial masyarakat pada umumnya. Apa yang terjadi apabila subsidi BBM yang mempunyai multiplayer effect signifikan terhadap harga kebutuhan dasar lainnya dipangkas? Kebutuhan dasar kelompok masyarakan rentan tersebut akan semakin terabaikan dan akan dapat mengancam pondasi integrasi sosial dalam masyarakat, walaupun akan ada kompensasi atas kenaikan tersebut pada sektor publik lainnya. Apalagi jika dilihat dari kondisi obyektif masyarakat Indonesia sekarang, ribuan korban selamat bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan daerah lainnya, maka beleid ini terkesan tidak bernurani dan berperi kemanusiaan (memang benar adanya). Dimana mereka (dan rakyat lainnya) yang seharusnya mendapatkan dukungan berupa pemberian subsidi untuk pemenuhan basic needs semakin terabaikan sehingga keterpurukan akan menghantui setiap saat.
How About Compenstation ?
Dalam konteks kompensasi beserta tetek bengeknya, hal itu merupakan kepalsuan belaka yang terus diada-adakan walaupun tidak ada, sekedar logika mistis yang dirasionalkan beragam apologia disana-sini. Why? Kita dapat melihat dari beragam kebijakan pemerintah yang paradoks dengan retorika kompensasi tersebut, semakin jauh di awang-awang dan meninggalkan kita dengan segenap janji-janjinya. Katanya untuk subsidi pendidikan, “proyek” pem-BHMN-an PTN-PTN yang ada tetap terus dilaksanakan sehingga biaya pendidikan tinggi semakin tak terjangkau semua kalangan serta biaya pendidikan dasar yang tinggi pula. Apakah itu arti dari kompensasi dari pemotongan subsidi BBM? Untuk bidang kesehatan, pola-pola ambulans zig-zag-nya Iwan Fals masih tetap ada, apakah hal ini juga makna dari kompensasi? Dan banyak contoh lainnya yang dapat dijadikan contoh betapa absurd dan retorika belaka atas nama kompensasi yang dijanjikan. Dan benar menurut Hirts dan Thompson, sektor publik merupakan sektor yang menjadi korban dari kebijakan pemerintah yang tuli akan kesejahteraan bersama karena kemudahahan didalamnya untuk diutak-atik menurut selera penguasa. Selain itu, kompensasi-kompensasi yang dijanjikan (direncanakan) sering kali hanya bersifat insidental dan aksidental sehingga apa-apa yang diharapkan oleh masyarakat sebelumnya terkubur oleh bayang-bayang kompensasi. Palsu! Dari sini, kompensasi yang di-gembar-gembor-kan sebelumnya hanya sekedar lips service untuk sekedar konsolasi agar masyarakat tidak shock dan protes pada saat-saat awal, dan untuk tahapan selanjutnya, up to you! You must walk in your own ways, I don’t know!
Dalam hal ini, pemerintah harus instropeksi atas fungsi-fungsi kesejahteraan yang menjadi tanggung jawab dari negara. Apa guna ada negara beserta perangkat-perangkatnya apabila ia hanya menjadi sekedar tukang stempel bagi kelompok tertentu, dan hanya mau “mengerti” akan keinginan “pemangsa” bukan rakyat secara keseluruhan. Negara harus dijadikan instrumen penciptaan kesejahteraan bukannya pasar yang selama ini diagung-agungkan sebab mempunyai kapital yang besar, karena didalam benaknya hanya ada satu pikiran buta, profit, profit, dan profit. Ia tidak akan mau tahu dengan agenda-agenda sosial dan usaha pengentasan kemiskinan karena memang sudah menjadi tabiat dasar yang melekat sejak ia lahir. Dan, negara beserta perangkat-perangkatnya harus mengerti akan hal itu, maka fungsi-fungsi negara sebagai alat kesejahteraan masyarakat wajib untuk ditegakkan kembali setegak-tegaknya. Ia harus lebih mandiri di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian dalam berkebudayaan seperti dalam rumusan doktrin Trisakti, sehingga negara yang kita cintai ini tidak diombang-ambingkan oleh kekuatan lain selain kekuatan yang sudah melekat dari bangsa ini, Indonesia yang berdaulat.
DISKRIMINASI TERHADAP MINORITAS MASIH MERUPAKAN MASALAH AKTUAL DI INDONESIA
Diskriminasi terhadap kaum minoritas di Indonesia masih merupakan masalah
aktual. Hal ini seharusnya tidak terjadi lagi, karena dalam masa reformasi ini telah diadakan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, serta oleh pemerintahpemerintah sejak masa Presiden Habibie, Gus Dur, hingga Megawati telah dikeluarkan beberapa Inpres yang menghapuskan peraturan-peraturan pemerintah sebelumnya khususnya ORDE BARU yang bersifat diskriminatif terhadap kebudayaan minoritas, dalam arti adat istiadat, agama dari beberapa suku bangsa minoritas di tanah air. Mengapa hal demikian dapat terjadi terus, seakan-akan rakyat kita sudah tak patuh lagi dengan hukum yang berlaku di negara kita. Untuk menjawab ini, tidak mudah karena penyebabnya cukup rumit, sehingga harus ditinjau dari beberapa unsur kebudayaan, seperti politik dan ekonomi. Dan juga psikologi dan folklornya.
Diskriminasi terhadap Kaum Minoritas Masih Tetap Aktual Sehingga perlu
ditanggulangi Segera secara Tuntas
Sebelum sampai pada pembicaraan kita, ada baiknya ditinjau dahulu beberapa konsep yang mendasari topik kita, yakni: diskriminasi, minoritas, dan hubungan antara kelompok [intergroup relation].
Menurut Theodorson & Theodorson, (1979: 115-116): Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya akan untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi. Dalam arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat. Aktif atau aspek yang dapat terlihat (overt) dari prasangka yang bersifat negatif [negative prejudice] terhadap seorang individu atau suatu kelompok. Dalam rangka ini dapat juga kita kemukakan definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbunyi demikian: “Diskrimasi mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya [merit].
Perlu kiranya dicatat di sini, bahwa dalam arti tertentu diskriminasi mengandung arti perlakuan tidak seimbang terhadap sekelompok orang, yang pada hakekatnya adalah sama dengan kelompok pelaku diskriminasi. Obyek diskriminasi tersebut sebenarnya memiliki beberapa kapasitas dan jasa yang sama, adalah bersifat universal. Apakah diskriminasi dianggap illegal, tergantung dari nilai-nilai yang dianut masyarakat bersangkutan, atau kepangkatan dalam masyarakat dan pelapisan masyarakat yang berlandaskan pada prinsip diskriminasi. Demikianlah para tamtama/prajurit [private] di dalam jajaran ketentaraan secara sah [legitimated] didiskriminasikan [diperlakukan tak seimbang], berdasarkan kedudukannya yang masih rendah, walaupun ia telah memiliki kemampuan yang sama, atau bahkan melebihi para perwira atasan mereka. Namun beberapa komunitas khayalan [utopian communities] telah mencoba untukmenghapuskan perbedaan-perbedaan semacam itu, dalam kedudukan kepangkatan, seringkali berdasarkan keyakinan bahwa semua orang beragama adalah sama di mata Tuhan; dan di Amerika Serikat penyebaran nilai-nilai politik dan agama telah membawa perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat, telah menyebabkan terjadinya perlawanan terhadap segala macam diskriminasi yang bersifat agama, ras, bahkan kelaskelas masyarakat. Kriteria masyarakat, untuk apa yang dianggap perlakuan diskriminasi terhadap seorang maupun kelompok, selalu bergeser, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya.
Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 258-259), kelompok minoritas [minority groups] adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka [prejudice] atau diskriminasi istilah ini pada umumnya dipergunakan bukanlah sebuah istilah teknis, dan malahan, ia sering dipergunakan untuk menunjukan pada kategori perorangan, dari pada kelompok-kelompok. Dan seringkali juga kepada kelompak mayoritas daripada kelompok minoritas. Sebagai contoh, meskipun kaum wanita bukan tergolong suatu kelompok (lebih tepat kategori masyarakat), atau pun suatu minoritas, yang oleh beberapa penulis sering digolongkan sebagai kelompok minoritas, karena biasanya dalam masyarakat, yang berorientasi pada pria/male chauvinism, sejak jaman Nabi Adam telah didiskriminasikan sebaliknya, sekelompok orang, yang termasuk telah memperoleh hak-hak istimewa [privileged] atau tidak didiskriminasikan, tetapi tergolong minoritas secara kuantitatif, tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok minoritas. Oleh karenannya istilah minoritas tidak termasuk semua kelompok, yang berjumlah kecil, namun dominan dalam politik. Akibatnya istilah kelompok minoritas hanya ditujukankepada mereka, yang oleh sebagian besar penduduk masyarakat dapat di jadikan obyek prasangka atau diskriminasi.
Akhimya perlu juga dijelaskan tentang hubungan antara kelompok [lntergroup relation] . Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 212) pada dasarnya istilah ini berarti penelitian mengenai hubungan antar kelompok, seperti pada kelompok minoritas dan kelompok mayoritas. Selain itu juga konsisten, atau konflik di antara suku-suku bangsa, atau kelompok-kelompok ras, sehinga dapat dianggap sebagai masalah sosial.
Diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang ada di Republik Indonesia yaitu Kelompok minoritas tersebut dapat berupa suku bangsa (etnis), kelompok agama, dan kelompok gender [gender] seperti kaum perempuan dan kaum homo seksual (baik gay maupun lesbian).
Pemfokusan ini berdasarkan kenyataan bahwa walaupun negara kita sudah merdeka
sejak tanggal 17 Agustus 1945, serta telah mempunyai UUD 45 yang pada Bab X tentang “Warga Negara” pasal 27 ayat 1, yang menganggap semua WNI memiliki persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualian, dan ayat 2 mengatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun sedihnya dalam riwayat hidupnya bangsa kita, telah diselewengkan oleh para pemimpinpemimpin di kemudian hari, yang sudah mulai berlaku sejak jaman ORLA, dan terutama mencapai puncaknya pada jaman ORBA.
Sebagai contoh misalnya orang Tionghoa di Indonesia bersama-sama dengan
orang Arab, India, pada masa Kolonial Belanda digolongkan sebagai golongan Timur
Asing, kemudian pada-masa Kemerdekaan mereka semuanya apabila mau mengakui
Indonesia sebagai tanah airnya, dan serta pada negara R.I. dapat dianggap sebagai
Warga Negara Indonesia. (lihat UUD 45, Bab X, pasal 26, ayat 1). Namun perlakuannya
terhadap mereka ada perbedaan. Bagi keturunan Arab, karena agamanya sama dengan yang dipeluk suku bangsa mayoritas Indonesia, maka mereka dianggap “Pri” [Pribumi] atau bahkan “Asli”, sedangkan keturunan Tionghoa, karena agamanya pada umumnya adalah Tri Dharma (Sam Kao), Budis, Nasrani dan lain-lain. Keturunan India yang beragama Hindu dan Belanda yang beragama Nasrani, dianggap “Non Pri”. Dengan stikma “Non Pri” tersebut kedudukan mereka yang bukan “pribumi”, terutama keturunan Tionghoa terasa sekali pendiskriminasiannya. Bahkan oleh pemerintah ORBA, telah dikeluarkan beberapa Peraturan Presiden yang menggencet mereka, bahkan dengan politik pembauran yang bersifat asimilasi. Sehingga sebagai etnis mereka tidak boleh eksis. Untuk menunjang politik yang sangat beraroma rasis itu. Oleh Pemerintah Soeharto telah dikeluarkan beberapa Keputusan Presiden seperti: Pelarangaran Sekolah dan Penerbitan berbahasa Cina; keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai Penggantian Nama; Instruksi Presiden No. 14/1967, yang mengatur Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Keturunan Cina. Keputusan Presiden No.240/1967 mengenai Kebijakan pokok yang menyangkut WNI keturunan Asing, serta Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina (Thung, 1999: 3-4). Lucunya dalam era reformati (plesetan dari istilah reformasi). Walaupun Pemerintah Presiden BJ. Habibie sudah memutuskan membatalkan semua peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, seperti yang tertuang dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No.26 tahun 1998; namun anehnya pada tahun 1999, ia malah memberi bintang kehormatan Maha Putra pada dua tokoh Asimilasi dari pihak etnis Tionghoa seperti Junus Jahja dan K. Sindhunata SA. Penghargaan ini memberi kesan bahwa Habibie masih setuju dengan politik asimilasi dari ORBA.
Isi Instruksi Presiden No.26 tahun 1998, yang dikeluarkan pada tanggal 16
September 1998, dan ditujukan kepada para Menteri, para pemimpin Lembaga
Pemerintah Non Departemen, para pemimpin Kesekretarian Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negara, dan para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, dan Bupati/Walikota Kota Madya,
Kepala Daerah Tingkat II. Isinya antara lain, adalah: Pertama mengenai penghentian
penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijaksanaan, perencanaan program, atau pelaksanaan kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan; Kedua memberikan perlakuan dan layanan yang sama
bagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa perlakuan berbeda atas dasar suku bangsa, agama, ras maupun asal usul. Ketiga meninjau kembali, dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang selama ini telah ditetapkan dan dilaksanakan, termasuk dalam pemberian layanan perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja dan penentuan gaji atau penghasilan dan hak-hak pekerjaan lain, sesuai dengan instruksi Presiden ini; dan sebagainya. Alasan yang merupakan rasionalisasi bagi mereka yang
mendukung politik pembauran asimilasi adalah bahwa jika orang Tionghoa semua sudah tukar nama, bahkan masuk agama Islam, maka tidak akan ada “masalah Cina” lagi sebagai contoh mereka tunjukan kejadian yang sudah terjadi di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Filipina, di kedua negara tersebut orang Tionghoa telah masuk agama Katolik (di Filipina) dan Budis (di Thailand). Sehingga logisnya orang Tionghoa di Indonesia harus masuk Islam, seperti yang telah dilakukan oleh Pak Junus Jahya (Lauw Chuan Tho) yang sejak tanggal 23 Juni 1979 secara resmi telah memeluk agama Islam. Menurut dia orang Indonesia Tionghoa harus masuk Islam, untuk mencegah terulangnya terjadi pembunuh massal [massacre] terhadap mereka di
Indonesia, seperti pada permulaan Kemerdekaan R.I dan yang terakhir pada tgl. 13 -15
Mei 1998.
Salah seorang eksponen kalangan muda tentang politik asimilasi adalah Soe Hok Gie (adik kandung Dr. Arief Budiman), waktu saya tanya mengapa ia tidak tukar nama? Jawabnya adalah “Pak politik asimilasi ini sudah diselewengkan oleh para Jenderal, sehingga akan menyusahkan orang keturunan Tionghoa!”. Memang dalam kenyataan akibat dari politik asimilasi tersebut, orang keturunan Tionghoa oleh para anti Cina malah lebih didiskriminasikan, Buktinya setelah tukar nama, orang keturunan Tionghoa masih tetap dianggap “Cina”. Penyebabnya adalah stereotip yang tetap melekat pada mereka, bahkan diperkuat dengan hukum, untuk didiskrirninasi, seperti diperas, jika hendak mengurus surat di kantor-kantor pemerintah. Mereka didiskriminasi jika mau masuk ke sekolah negeri. Di Universitas negeri mereka yang lulus UMPTN tidak diterima, setelah terlihat pada pas fotonya, karena raut mukanya berciri ras mongoloid Asia Timur. Demikian juga jika mereka mau masuk ke AKABRI. Setelah masa Reformasi perlakuan semacam itu masih terus berlaku sampai sekarang. Memang sifatsifat stereotip pada orang Tionghoa, sukar sekali dihapuskan, terutama bagi pejabatpejabat yang hendak memeras. Karena bagi mereka orang Tionghoa itu kaya, sehingga dapat dijadikan sumber keuangan mereka, yang sebagai pegawai negeri gaji bulanannya memang sangat tidak memadai, untuk dapat hidup sebagai layaknya manusia dari negarayang menjunjung tinggi HAM. Walaupun sejak pemerintahan Habibie, orang dari suku bangsa Tionghoa jika mau sekolah, berdagang, membuat paspor, KTP, masih ada yang diminta mempertunjukan Surat Bukti Kewarganegaran Indonesia (SBKI).
Walaupun diskriminasi terhadap pemeluk agama tertentu, sejak masa reformasi ini telah mulai lenyap, tetapi tidak terjadi pada semua agama minoritas. Sejak masa reformasi ini agama minoritas yang telah memperoleh pengakuan sebagai salah satu
agama yang diakui di Indonesia adalah agama Konghucu, sehingga salah satu hari
rayanya yang dihubungkan dengan agama tersebut, yakni Imlek sejak tahun 2003, telah disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Hari Raya Nasional. Namun di lain pihak ada tuntutan dari agama Minoritas orang Jawa (Kejawen) yang belum terpenuhi aspirasinya beragama.
Dalam Koran KOMPAS , Kamis 10 April 2003 , Halaman 7, ada pernyataan bahwa umat agama tersebut merasa dilecehkan dan dianggap seolah bukan warga Negara Indonesia. Untuk itu Masyarakat Peduli Hak Sipil dan Budaya bersama puluhan aktivis penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME), Rabu 9 April 2003 telah mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka diterima Wakil ketua Komnas HAM Salahudin Wahid. Dalam pernyataan tertulis yang dibacakan wakil mereka Dewi Kanti, disebutkan bahwa para penghayat bukan hanya menghadapi sejumlah piranti hukum, yang melecehkan hak sipil dan budaya, tetapi juga menghadapi pejabat Negara yang menganggap para penghayat seolah bukan sebagai WNI. Sejak lahir para penghayat berhadapan dengan tindakan diskriminatif. Anak-anak pasangan penghayat tidak bisa mendapat surat kenal lahir atau akta kelahiran, dengan alasan pernikahan mereka dianggap tidak sah. Pada hal mereka telah melangsungkan pernikahan sesuai dengan adat dan kepercayaan masing-masing. Dinikahkan dengan penuh kasih, direstui orang tua, handai taulan, keluarga dan saksi mereka. Para penghayat juga kesulitan mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), karena tidak mau mengisi kolom agama yang resmi diakui negara. Contoh terakhir perlakuan buruk terjadi atas para penghayat Ajaran Karuhun Urang di Cigujur, Kuningan, Jawa Barat, yang merasa dihina dalam film berjudul Kafir.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa diskriminasi terhadap kaum minoritas, dalam arti masih berlangsung terus. Penyebabnya memang sebagian oleh seniman diskriminasi ras, namun yang lebih tepat lagi adalah karena “fulus”, yakni uang atau dana, yang perlu diperoleh oleh oknum-oknum pejabat, baik sipil rnaupun militer, selama gaji mereka sebagai pegawai negeri masih tetap tak memadai, dan kelompok yang dapat dijadikan obyek pemerasan, sudah tentu adalah orang Indonesia Tionghoa, yang berkat peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan Pemerintah RI, dibuat menjadi tidak mantap dalarn struktur masyarakat Indonesia sehingga dapat dilecehi tanpa mampu melawan.
aktual. Hal ini seharusnya tidak terjadi lagi, karena dalam masa reformasi ini telah diadakan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, serta oleh pemerintahpemerintah sejak masa Presiden Habibie, Gus Dur, hingga Megawati telah dikeluarkan beberapa Inpres yang menghapuskan peraturan-peraturan pemerintah sebelumnya khususnya ORDE BARU yang bersifat diskriminatif terhadap kebudayaan minoritas, dalam arti adat istiadat, agama dari beberapa suku bangsa minoritas di tanah air. Mengapa hal demikian dapat terjadi terus, seakan-akan rakyat kita sudah tak patuh lagi dengan hukum yang berlaku di negara kita. Untuk menjawab ini, tidak mudah karena penyebabnya cukup rumit, sehingga harus ditinjau dari beberapa unsur kebudayaan, seperti politik dan ekonomi. Dan juga psikologi dan folklornya.
Diskriminasi terhadap Kaum Minoritas Masih Tetap Aktual Sehingga perlu
ditanggulangi Segera secara Tuntas
Sebelum sampai pada pembicaraan kita, ada baiknya ditinjau dahulu beberapa konsep yang mendasari topik kita, yakni: diskriminasi, minoritas, dan hubungan antara kelompok [intergroup relation].
Menurut Theodorson & Theodorson, (1979: 115-116): Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya akan untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi. Dalam arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat. Aktif atau aspek yang dapat terlihat (overt) dari prasangka yang bersifat negatif [negative prejudice] terhadap seorang individu atau suatu kelompok. Dalam rangka ini dapat juga kita kemukakan definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbunyi demikian: “Diskrimasi mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya [merit].
Perlu kiranya dicatat di sini, bahwa dalam arti tertentu diskriminasi mengandung arti perlakuan tidak seimbang terhadap sekelompok orang, yang pada hakekatnya adalah sama dengan kelompok pelaku diskriminasi. Obyek diskriminasi tersebut sebenarnya memiliki beberapa kapasitas dan jasa yang sama, adalah bersifat universal. Apakah diskriminasi dianggap illegal, tergantung dari nilai-nilai yang dianut masyarakat bersangkutan, atau kepangkatan dalam masyarakat dan pelapisan masyarakat yang berlandaskan pada prinsip diskriminasi. Demikianlah para tamtama/prajurit [private] di dalam jajaran ketentaraan secara sah [legitimated] didiskriminasikan [diperlakukan tak seimbang], berdasarkan kedudukannya yang masih rendah, walaupun ia telah memiliki kemampuan yang sama, atau bahkan melebihi para perwira atasan mereka. Namun beberapa komunitas khayalan [utopian communities] telah mencoba untukmenghapuskan perbedaan-perbedaan semacam itu, dalam kedudukan kepangkatan, seringkali berdasarkan keyakinan bahwa semua orang beragama adalah sama di mata Tuhan; dan di Amerika Serikat penyebaran nilai-nilai politik dan agama telah membawa perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat, telah menyebabkan terjadinya perlawanan terhadap segala macam diskriminasi yang bersifat agama, ras, bahkan kelaskelas masyarakat. Kriteria masyarakat, untuk apa yang dianggap perlakuan diskriminasi terhadap seorang maupun kelompok, selalu bergeser, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya.
Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 258-259), kelompok minoritas [minority groups] adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka [prejudice] atau diskriminasi istilah ini pada umumnya dipergunakan bukanlah sebuah istilah teknis, dan malahan, ia sering dipergunakan untuk menunjukan pada kategori perorangan, dari pada kelompok-kelompok. Dan seringkali juga kepada kelompak mayoritas daripada kelompok minoritas. Sebagai contoh, meskipun kaum wanita bukan tergolong suatu kelompok (lebih tepat kategori masyarakat), atau pun suatu minoritas, yang oleh beberapa penulis sering digolongkan sebagai kelompok minoritas, karena biasanya dalam masyarakat, yang berorientasi pada pria/male chauvinism, sejak jaman Nabi Adam telah didiskriminasikan sebaliknya, sekelompok orang, yang termasuk telah memperoleh hak-hak istimewa [privileged] atau tidak didiskriminasikan, tetapi tergolong minoritas secara kuantitatif, tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok minoritas. Oleh karenannya istilah minoritas tidak termasuk semua kelompok, yang berjumlah kecil, namun dominan dalam politik. Akibatnya istilah kelompok minoritas hanya ditujukankepada mereka, yang oleh sebagian besar penduduk masyarakat dapat di jadikan obyek prasangka atau diskriminasi.
Akhimya perlu juga dijelaskan tentang hubungan antara kelompok [lntergroup relation] . Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 212) pada dasarnya istilah ini berarti penelitian mengenai hubungan antar kelompok, seperti pada kelompok minoritas dan kelompok mayoritas. Selain itu juga konsisten, atau konflik di antara suku-suku bangsa, atau kelompok-kelompok ras, sehinga dapat dianggap sebagai masalah sosial.
Diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang ada di Republik Indonesia yaitu Kelompok minoritas tersebut dapat berupa suku bangsa (etnis), kelompok agama, dan kelompok gender [gender] seperti kaum perempuan dan kaum homo seksual (baik gay maupun lesbian).
Pemfokusan ini berdasarkan kenyataan bahwa walaupun negara kita sudah merdeka
sejak tanggal 17 Agustus 1945, serta telah mempunyai UUD 45 yang pada Bab X tentang “Warga Negara” pasal 27 ayat 1, yang menganggap semua WNI memiliki persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualian, dan ayat 2 mengatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun sedihnya dalam riwayat hidupnya bangsa kita, telah diselewengkan oleh para pemimpinpemimpin di kemudian hari, yang sudah mulai berlaku sejak jaman ORLA, dan terutama mencapai puncaknya pada jaman ORBA.
Sebagai contoh misalnya orang Tionghoa di Indonesia bersama-sama dengan
orang Arab, India, pada masa Kolonial Belanda digolongkan sebagai golongan Timur
Asing, kemudian pada-masa Kemerdekaan mereka semuanya apabila mau mengakui
Indonesia sebagai tanah airnya, dan serta pada negara R.I. dapat dianggap sebagai
Warga Negara Indonesia. (lihat UUD 45, Bab X, pasal 26, ayat 1). Namun perlakuannya
terhadap mereka ada perbedaan. Bagi keturunan Arab, karena agamanya sama dengan yang dipeluk suku bangsa mayoritas Indonesia, maka mereka dianggap “Pri” [Pribumi] atau bahkan “Asli”, sedangkan keturunan Tionghoa, karena agamanya pada umumnya adalah Tri Dharma (Sam Kao), Budis, Nasrani dan lain-lain. Keturunan India yang beragama Hindu dan Belanda yang beragama Nasrani, dianggap “Non Pri”. Dengan stikma “Non Pri” tersebut kedudukan mereka yang bukan “pribumi”, terutama keturunan Tionghoa terasa sekali pendiskriminasiannya. Bahkan oleh pemerintah ORBA, telah dikeluarkan beberapa Peraturan Presiden yang menggencet mereka, bahkan dengan politik pembauran yang bersifat asimilasi. Sehingga sebagai etnis mereka tidak boleh eksis. Untuk menunjang politik yang sangat beraroma rasis itu. Oleh Pemerintah Soeharto telah dikeluarkan beberapa Keputusan Presiden seperti: Pelarangaran Sekolah dan Penerbitan berbahasa Cina; keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai Penggantian Nama; Instruksi Presiden No. 14/1967, yang mengatur Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Keturunan Cina. Keputusan Presiden No.240/1967 mengenai Kebijakan pokok yang menyangkut WNI keturunan Asing, serta Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina (Thung, 1999: 3-4). Lucunya dalam era reformati (plesetan dari istilah reformasi). Walaupun Pemerintah Presiden BJ. Habibie sudah memutuskan membatalkan semua peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, seperti yang tertuang dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No.26 tahun 1998; namun anehnya pada tahun 1999, ia malah memberi bintang kehormatan Maha Putra pada dua tokoh Asimilasi dari pihak etnis Tionghoa seperti Junus Jahja dan K. Sindhunata SA. Penghargaan ini memberi kesan bahwa Habibie masih setuju dengan politik asimilasi dari ORBA.
Isi Instruksi Presiden No.26 tahun 1998, yang dikeluarkan pada tanggal 16
September 1998, dan ditujukan kepada para Menteri, para pemimpin Lembaga
Pemerintah Non Departemen, para pemimpin Kesekretarian Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negara, dan para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, dan Bupati/Walikota Kota Madya,
Kepala Daerah Tingkat II. Isinya antara lain, adalah: Pertama mengenai penghentian
penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijaksanaan, perencanaan program, atau pelaksanaan kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan; Kedua memberikan perlakuan dan layanan yang sama
bagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa perlakuan berbeda atas dasar suku bangsa, agama, ras maupun asal usul. Ketiga meninjau kembali, dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang selama ini telah ditetapkan dan dilaksanakan, termasuk dalam pemberian layanan perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja dan penentuan gaji atau penghasilan dan hak-hak pekerjaan lain, sesuai dengan instruksi Presiden ini; dan sebagainya. Alasan yang merupakan rasionalisasi bagi mereka yang
mendukung politik pembauran asimilasi adalah bahwa jika orang Tionghoa semua sudah tukar nama, bahkan masuk agama Islam, maka tidak akan ada “masalah Cina” lagi sebagai contoh mereka tunjukan kejadian yang sudah terjadi di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Filipina, di kedua negara tersebut orang Tionghoa telah masuk agama Katolik (di Filipina) dan Budis (di Thailand). Sehingga logisnya orang Tionghoa di Indonesia harus masuk Islam, seperti yang telah dilakukan oleh Pak Junus Jahya (Lauw Chuan Tho) yang sejak tanggal 23 Juni 1979 secara resmi telah memeluk agama Islam. Menurut dia orang Indonesia Tionghoa harus masuk Islam, untuk mencegah terulangnya terjadi pembunuh massal [massacre] terhadap mereka di
Indonesia, seperti pada permulaan Kemerdekaan R.I dan yang terakhir pada tgl. 13 -15
Mei 1998.
Salah seorang eksponen kalangan muda tentang politik asimilasi adalah Soe Hok Gie (adik kandung Dr. Arief Budiman), waktu saya tanya mengapa ia tidak tukar nama? Jawabnya adalah “Pak politik asimilasi ini sudah diselewengkan oleh para Jenderal, sehingga akan menyusahkan orang keturunan Tionghoa!”. Memang dalam kenyataan akibat dari politik asimilasi tersebut, orang keturunan Tionghoa oleh para anti Cina malah lebih didiskriminasikan, Buktinya setelah tukar nama, orang keturunan Tionghoa masih tetap dianggap “Cina”. Penyebabnya adalah stereotip yang tetap melekat pada mereka, bahkan diperkuat dengan hukum, untuk didiskrirninasi, seperti diperas, jika hendak mengurus surat di kantor-kantor pemerintah. Mereka didiskriminasi jika mau masuk ke sekolah negeri. Di Universitas negeri mereka yang lulus UMPTN tidak diterima, setelah terlihat pada pas fotonya, karena raut mukanya berciri ras mongoloid Asia Timur. Demikian juga jika mereka mau masuk ke AKABRI. Setelah masa Reformasi perlakuan semacam itu masih terus berlaku sampai sekarang. Memang sifatsifat stereotip pada orang Tionghoa, sukar sekali dihapuskan, terutama bagi pejabatpejabat yang hendak memeras. Karena bagi mereka orang Tionghoa itu kaya, sehingga dapat dijadikan sumber keuangan mereka, yang sebagai pegawai negeri gaji bulanannya memang sangat tidak memadai, untuk dapat hidup sebagai layaknya manusia dari negarayang menjunjung tinggi HAM. Walaupun sejak pemerintahan Habibie, orang dari suku bangsa Tionghoa jika mau sekolah, berdagang, membuat paspor, KTP, masih ada yang diminta mempertunjukan Surat Bukti Kewarganegaran Indonesia (SBKI).
Walaupun diskriminasi terhadap pemeluk agama tertentu, sejak masa reformasi ini telah mulai lenyap, tetapi tidak terjadi pada semua agama minoritas. Sejak masa reformasi ini agama minoritas yang telah memperoleh pengakuan sebagai salah satu
agama yang diakui di Indonesia adalah agama Konghucu, sehingga salah satu hari
rayanya yang dihubungkan dengan agama tersebut, yakni Imlek sejak tahun 2003, telah disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Hari Raya Nasional. Namun di lain pihak ada tuntutan dari agama Minoritas orang Jawa (Kejawen) yang belum terpenuhi aspirasinya beragama.
Dalam Koran KOMPAS , Kamis 10 April 2003 , Halaman 7, ada pernyataan bahwa umat agama tersebut merasa dilecehkan dan dianggap seolah bukan warga Negara Indonesia. Untuk itu Masyarakat Peduli Hak Sipil dan Budaya bersama puluhan aktivis penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME), Rabu 9 April 2003 telah mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka diterima Wakil ketua Komnas HAM Salahudin Wahid. Dalam pernyataan tertulis yang dibacakan wakil mereka Dewi Kanti, disebutkan bahwa para penghayat bukan hanya menghadapi sejumlah piranti hukum, yang melecehkan hak sipil dan budaya, tetapi juga menghadapi pejabat Negara yang menganggap para penghayat seolah bukan sebagai WNI. Sejak lahir para penghayat berhadapan dengan tindakan diskriminatif. Anak-anak pasangan penghayat tidak bisa mendapat surat kenal lahir atau akta kelahiran, dengan alasan pernikahan mereka dianggap tidak sah. Pada hal mereka telah melangsungkan pernikahan sesuai dengan adat dan kepercayaan masing-masing. Dinikahkan dengan penuh kasih, direstui orang tua, handai taulan, keluarga dan saksi mereka. Para penghayat juga kesulitan mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), karena tidak mau mengisi kolom agama yang resmi diakui negara. Contoh terakhir perlakuan buruk terjadi atas para penghayat Ajaran Karuhun Urang di Cigujur, Kuningan, Jawa Barat, yang merasa dihina dalam film berjudul Kafir.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa diskriminasi terhadap kaum minoritas, dalam arti masih berlangsung terus. Penyebabnya memang sebagian oleh seniman diskriminasi ras, namun yang lebih tepat lagi adalah karena “fulus”, yakni uang atau dana, yang perlu diperoleh oleh oknum-oknum pejabat, baik sipil rnaupun militer, selama gaji mereka sebagai pegawai negeri masih tetap tak memadai, dan kelompok yang dapat dijadikan obyek pemerasan, sudah tentu adalah orang Indonesia Tionghoa, yang berkat peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan Pemerintah RI, dibuat menjadi tidak mantap dalarn struktur masyarakat Indonesia sehingga dapat dilecehi tanpa mampu melawan.
OTONOMI DAERAH
I. PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)dengan beberapa dasar pertimbangan:
1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Aturan Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;dan
3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri,untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya,dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan),dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu:
1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
2. pembentukan negara federal; atau
3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.
8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.
LATAR BELAKANG OTONOMI DAERAH
Sentralisasi pelayanan dan pembinaan kepada rakyat tidak mungkin dilakukan dari pusat saja. Oleh karena itu, wilayah Negara dibagi atas daerah besar dan daerah kecil. Untuk keperluan tersebut, diperlukan asas dalam mengelola daerah yang meliputi :
1. Desentralisasi pelaayanan rakyat /public. Adpun filsafat yang dianut adalah: Pemerintah Daerah ada karena ada rakyat yang harus dilayani. Desentralisasi merupakan power sharing (otonomi formal dan otonomi material). Otonomi daerah bertujuan memudahkan pelayanan kepada rakyat. Oleh karena itu, outputnya hendaknya berupa pemenuhan bahan kebutuhan pokok rakyat-public goods-dan peraturan daerah-public regulation agar rakyat tertib dan adanya kepastian hukum. ,kebijakan desentralisasi mempunyai tujuan politis dan administrasi, tetapi tujuan utamanya adalah pealayanan kepada rakyat.
2. Dekonsentrasi : diselenggarakan karena tidak semua tugas-tugas teknis pelayanan kepada rakyat dapat diselengarakan dengan baik oleh Pemerintah Daerah (kabupaten/kota). Dekonsentrasi terdiri atas fungsional (kanwil/kandep) dan terintregrasi (kepala wilayah).
Pada kenyataannya, otonomi daerah di Indonesia secara luas tidak/belum pernah terlaksana. Sejak masa penjajahan Belanda, Jepang, dan setelah kemerdekaan otonomi masih dalam bentuk dekonsentrasi.
Di samping system desentralisasi dan dekonsentrasi yang dipergunakan oleh system pemerintahan daerah, juga dikenal tugas bantuan yang dilakukan oelh pemerintah daerah untuk iktu melaksanakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah daerah atasannya.
Penyelenggaraan rumah tangga sendiri dilakukan atas dasar inisiatif dan kebijaksanaan sendiri, namun demikian tidak berarti, bahwa penyelenggaraannya terlepas sama sekali dari garis-garis yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah atasannya. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tetap terpelihara dengan melakukan pengawasan untuk mecegah timbulnya perselisihan yang tidak dikehendaki.
Pengawasan preventif merupakan tindakan pencegahan agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap penyelenggaraan urusan rumah tangga sendiri. Pengawasan ini dilakukan dengan memberikan pengesahan lebih dahulu oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah atasannya terhadap suatu peraturan sebelum peraturan itu dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
SEJARAH OTONOMI DAERAH
1. UU No.1 Tahun 1945
2. UU No. 22 Tahun 1948
3. UU NO.1 Tahun 1957
4. UU NO.18 Tahun 1965
5. UU No. 5 Tahun 1974
6. UU No.22 Tahun 1999
7. UU No.25 Tahun 1999
8. UU NO.32 Tahun 2004
OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI
Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasan system penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara aduk.
1. Desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara Negara, sedangakan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut.
2. Otonomi dalam arti sempit dapat diartikan mandiri sedangkan dalam makna luas sebagai berdaya. Jadi otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
VISI OTONOMI DAERAH
1. Politik: Harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya Kepala Pemerintahan Daerah yang dipilh secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsife;
2. Ekonomi: Terbukanya peluang bagi pemerintah di daerah mengembangkan kebijakan regional dan local untuk mengoptimalkan lpendayagunaan potensi;
3. Sosial: Menciptkan kemampuan masyarakat untukmerespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
KONSEP DASAR OTONOMI DAERAH
1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah;
2. Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat local dalam pemilihan dan penetapan Kepala Daerah;
3. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur berkualitas tinggi dngan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula;
4. Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif;
5. Peningkatan efisiensi administrasi keungan daerah;
6. Pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah;
7. Pemberian keleluasaan kepala daerah dan optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat.
PEMBAGIAN DAERAH
Wilayaha Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, serta daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintah daerah (Pasal 2 UU No.32/2004). Pemerintah provinsi yang berbatasan dengan laut memiliki kewenangan wilayah laut sejauh 12 mil laut di ukur dari garis pantai kea rah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan (Pasal 18 Ayat [4] UU No.32/2004). Asas ini bertentangan dengan Deklarasi Pemerintah RI yang telah dikukuhkan melalui UNCLOS, serta telah diratifikasi dengan UU No. 6/1999 tentang Perairan Indonesia.
Sehubungan dengan ini, ada yang patut diwaspadai bahwa semangat otonomi seharusnya tidak menjurus pada semangat pembentukan daerah berdasarkan etnik atau subkultur. Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Indonesia terbagi berdasarkan subkultur dengan dibentuknyadaerah keresidenan. Selanjutnya, wilayah-wilayah tersebut terbagi habis menjadi provinsi, keresidenan, kabupaten/kota, kewedanaan, dan kecamatan.
Globalisasi yang menyebabakan adanya Global Paradox (Nasbit, 1987: 55) jangan sampai menyemangati pemekaran wilayah atas dasar pendekatan kebudayaan sehingga menimbulkan benturan budaya yang berakibat pecahnya Negara nasional (Hungton, 1966: 100). Oleh karena itu, perlu adanya perhatian khusus pada wilayah dilalui Alur Laut Kepulauan-Riau, Kalimantan Barat, Bangka-Belitung, Banten, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Pulau Lombok, serta Maluku dan Maluku Utara. Yang beberapa saat lalu sehingga kini tetap bergejolak, baim yang berupa konflik fisik maupun konflik non fisik (keinginan memisahkan diri dengan membentuk provinsi baru).
PEMBAGIAN KEWENANGAN (UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah)
1. Kewenangan Pemerintahan ( Pasal 10 Ayat [3] ):
1. Politik luar negeri;
2. Pertahanan;
3. Keamanan;
4. Yustisi;
5. Moneter dan fiscal nasional; dan
6. Agama.
1. Kewenangan Wajib Pemerintah Daerah Provinsi (Pasal13)
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan’
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. Penanganan bidang kesehatan;
6. Penyelengaraaan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
7. Penanggulangan maslah social lintas kabupaten/kota;
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
10. Pengendalian lingkungan hidup;
11. Pelayanan petanahan termasuk lintas kabupate/kota;
12. Pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil;
13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten; dan
16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
1. Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota (pada dasrnya sama, tetapi dalam skala kabupoaten/kota, pasal 14):
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakt;
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. Penanganan bidang kesehatan;
6. Penyelengaraan bidang pendidikan;
7. Penanggulangan maslah sosial;
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
10. Pengendalian lingkungan hidup;
11. Pelayanan pertanahan;
12. Pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil;
13. Pelayanan admintrasi umum pemerintahan;
14. Pelayanan administrasi penanaman modal;
15. Penyelenggaraan pelayanan dasra lainnya; dan
16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh perundang-undangan.
1. Kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengelola sumber daya alam dan sumber daya lainnya di wilayah laut (Pasal 18):
1. Eksplorasi, eksploitasi, konsevasi, dan pengelolaan laut;
2. Pengaturan administrasi;
3. Pengaturan tata ruang;
4. Penegakkan hokum terhadap peraturan yang dikeluarkan oelh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah;
5. Ikut serta pemeliharan keamanan; dan
6. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan Negara.
SUMBER PENERIMAAN PELAKSANAAN DESENTRALISASI
Untuk mendukung jalannya pemerintahan di daerah, diperlukan dana yang tidak sedikit. Akan tetapi, tidak semua daerah mampu mendanai sendiri jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu, Pemerintah harus mampu membagi adil dan merata hasil potensi masyarakat. Agar adil dan merata, diperlukan aturan yang baku. Dari ketentuan tersebut, dikeluarkan beberapa istilah tentang dana untuk keperluan pembinaan wilayah, antara lain:
1. Pendapatan Asli Daerah:
1. Pajak daerah;
2. Retribusi daerah;
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah;
4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
1. Dana Pertimbangan Daerah, terdiri atas:
1. Dana bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam;
2. Dana alokasi umum; dan
3. Dana alokasi khusus.
1. Pinjaman Daerah: daerah dpat meminjam dari dalam negeri dan luar negeri (melalui Pemerintah Pusat) dengan persetujuan DPRD.
2. Lain-lain penerimaan yang sah termasuk Dana Darurat, berasal dari pinjaman APBN.
II. PRINSIP – PRINSIP PEMBERIAN OTONOMI DAERAH DALAM UU.22/1999
1. Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab.
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah.
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administratif.
6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administratis untuk melaksanakan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
III. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DALAM MENYELENGGARAKAN OTONOMI DAERAH BERDASARKAN UU OTONOMI
Dalam implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang dilaksanakan mulai 1 Januari 2001 terdapat beberapa permasalahan yang perlu segera dicarikan pemecahannya. Namun sebagian kalangan beranggapan timbulnya berbagai permasalahan tersebut merupakan akibat dari kesalahan dan kelemahan yang dimiliki oleh UU 22/1999, sehingga merekapun mengupayakan dilakukannya revisi terhadap UU 22/1999 tersebut.
Timbulnya berbagai permasalahan tersebut lebih banyak disebabkan karena terbatasnya peraturan pelaksanaan yang bisa dijadikan pedoman dan rambu-rambu bagi implementasi kebijakan Otonomi Daerah tersebut. Jadi bukan pada tempatnya jika kita langsung mengkambinghitamkan bahkan memvonis bahwa UU 22/1999 tersebut keliru.
Otonomi Daerah dan Prospeknya di Masa Mendatang
Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 22/1999 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang pernah ada di Republik ini. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.
Untuk mengetahui prospek tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang kita gunakan disini adalah aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Dari aspek ideologi , sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan pandangan, falsafah hidup dan sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara lain pengakuan Ketuhanan, semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak azasi manusia, demokrasi, dan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat diterima dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia.
Dari aspek politik , pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah merupakan suatu wujud dari pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada Daerah. Pengakuan Pusat terhadap eksistensi Daerah serta kepercayaan dengan memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah akan menciptakan hubungan yang harmonis antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya kondisi akan mendorong tumbuhnya dukungan Derah terhadap Pusat dimana akhirnya akan dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Kebijakan Otonomi Daerah sebagai upaya pendidikan politik rakyat akan membawa dampak terhadap peningkatan kehidupan politik di Daerah.
Dari aspek ekonomi , kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global.
Dari aspek sosial budaya , kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan terhadap keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai sosial dan budaya serta potensi lainnya yang terkandung di daerah. Pengakuan Pusat terhadap keberagaman Daerah merupakan suatu nilai penting bgi eksistensi Daerah. Dengan pengakuan tersebut Daerah akan merasa setara dan sejajar dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa dan negara. Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan budaya lokal akan memperkaya khasanah budaya nasional.
Selanjutnya dari aspek pertahanan dan keamanan , kebijakan Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada masing-msing daerah untuk memantapkan kondisi Ketahanan daerah dalam kerangka Ketahanan Nasional. Pemberian kewenangan kepada Daerah akan menumbuhkan kepercayaan Daerah terhadap Pusat. Tumbuhnya hubungan dan kepercayaan Daerah terhadap Pusat akan dapat mengeliminir gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek ideologi, politik, sosal budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan Otonomi Daerah mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasya-rakat, berbangsa dan bernegara.
Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana jika berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan baik. Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif.
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)dengan beberapa dasar pertimbangan:
1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Aturan Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;dan
3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri,untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya,dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan),dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu:
1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
2. pembentukan negara federal; atau
3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.
8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.
LATAR BELAKANG OTONOMI DAERAH
Sentralisasi pelayanan dan pembinaan kepada rakyat tidak mungkin dilakukan dari pusat saja. Oleh karena itu, wilayah Negara dibagi atas daerah besar dan daerah kecil. Untuk keperluan tersebut, diperlukan asas dalam mengelola daerah yang meliputi :
1. Desentralisasi pelaayanan rakyat /public. Adpun filsafat yang dianut adalah: Pemerintah Daerah ada karena ada rakyat yang harus dilayani. Desentralisasi merupakan power sharing (otonomi formal dan otonomi material). Otonomi daerah bertujuan memudahkan pelayanan kepada rakyat. Oleh karena itu, outputnya hendaknya berupa pemenuhan bahan kebutuhan pokok rakyat-public goods-dan peraturan daerah-public regulation agar rakyat tertib dan adanya kepastian hukum. ,kebijakan desentralisasi mempunyai tujuan politis dan administrasi, tetapi tujuan utamanya adalah pealayanan kepada rakyat.
2. Dekonsentrasi : diselenggarakan karena tidak semua tugas-tugas teknis pelayanan kepada rakyat dapat diselengarakan dengan baik oleh Pemerintah Daerah (kabupaten/kota). Dekonsentrasi terdiri atas fungsional (kanwil/kandep) dan terintregrasi (kepala wilayah).
Pada kenyataannya, otonomi daerah di Indonesia secara luas tidak/belum pernah terlaksana. Sejak masa penjajahan Belanda, Jepang, dan setelah kemerdekaan otonomi masih dalam bentuk dekonsentrasi.
Di samping system desentralisasi dan dekonsentrasi yang dipergunakan oleh system pemerintahan daerah, juga dikenal tugas bantuan yang dilakukan oelh pemerintah daerah untuk iktu melaksanakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah daerah atasannya.
Penyelenggaraan rumah tangga sendiri dilakukan atas dasar inisiatif dan kebijaksanaan sendiri, namun demikian tidak berarti, bahwa penyelenggaraannya terlepas sama sekali dari garis-garis yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah atasannya. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tetap terpelihara dengan melakukan pengawasan untuk mecegah timbulnya perselisihan yang tidak dikehendaki.
Pengawasan preventif merupakan tindakan pencegahan agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap penyelenggaraan urusan rumah tangga sendiri. Pengawasan ini dilakukan dengan memberikan pengesahan lebih dahulu oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah atasannya terhadap suatu peraturan sebelum peraturan itu dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
SEJARAH OTONOMI DAERAH
1. UU No.1 Tahun 1945
2. UU No. 22 Tahun 1948
3. UU NO.1 Tahun 1957
4. UU NO.18 Tahun 1965
5. UU No. 5 Tahun 1974
6. UU No.22 Tahun 1999
7. UU No.25 Tahun 1999
8. UU NO.32 Tahun 2004
OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI
Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasan system penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara aduk.
1. Desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara Negara, sedangakan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut.
2. Otonomi dalam arti sempit dapat diartikan mandiri sedangkan dalam makna luas sebagai berdaya. Jadi otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
VISI OTONOMI DAERAH
1. Politik: Harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya Kepala Pemerintahan Daerah yang dipilh secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsife;
2. Ekonomi: Terbukanya peluang bagi pemerintah di daerah mengembangkan kebijakan regional dan local untuk mengoptimalkan lpendayagunaan potensi;
3. Sosial: Menciptkan kemampuan masyarakat untukmerespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
KONSEP DASAR OTONOMI DAERAH
1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah;
2. Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat local dalam pemilihan dan penetapan Kepala Daerah;
3. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur berkualitas tinggi dngan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula;
4. Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif;
5. Peningkatan efisiensi administrasi keungan daerah;
6. Pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah;
7. Pemberian keleluasaan kepala daerah dan optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat.
PEMBAGIAN DAERAH
Wilayaha Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, serta daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintah daerah (Pasal 2 UU No.32/2004). Pemerintah provinsi yang berbatasan dengan laut memiliki kewenangan wilayah laut sejauh 12 mil laut di ukur dari garis pantai kea rah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan (Pasal 18 Ayat [4] UU No.32/2004). Asas ini bertentangan dengan Deklarasi Pemerintah RI yang telah dikukuhkan melalui UNCLOS, serta telah diratifikasi dengan UU No. 6/1999 tentang Perairan Indonesia.
Sehubungan dengan ini, ada yang patut diwaspadai bahwa semangat otonomi seharusnya tidak menjurus pada semangat pembentukan daerah berdasarkan etnik atau subkultur. Pada masa penjajahan Belanda, wilayah Indonesia terbagi berdasarkan subkultur dengan dibentuknyadaerah keresidenan. Selanjutnya, wilayah-wilayah tersebut terbagi habis menjadi provinsi, keresidenan, kabupaten/kota, kewedanaan, dan kecamatan.
Globalisasi yang menyebabakan adanya Global Paradox (Nasbit, 1987: 55) jangan sampai menyemangati pemekaran wilayah atas dasar pendekatan kebudayaan sehingga menimbulkan benturan budaya yang berakibat pecahnya Negara nasional (Hungton, 1966: 100). Oleh karena itu, perlu adanya perhatian khusus pada wilayah dilalui Alur Laut Kepulauan-Riau, Kalimantan Barat, Bangka-Belitung, Banten, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Pulau Lombok, serta Maluku dan Maluku Utara. Yang beberapa saat lalu sehingga kini tetap bergejolak, baim yang berupa konflik fisik maupun konflik non fisik (keinginan memisahkan diri dengan membentuk provinsi baru).
PEMBAGIAN KEWENANGAN (UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah)
1. Kewenangan Pemerintahan ( Pasal 10 Ayat [3] ):
1. Politik luar negeri;
2. Pertahanan;
3. Keamanan;
4. Yustisi;
5. Moneter dan fiscal nasional; dan
6. Agama.
1. Kewenangan Wajib Pemerintah Daerah Provinsi (Pasal13)
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan’
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. Penanganan bidang kesehatan;
6. Penyelengaraaan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
7. Penanggulangan maslah social lintas kabupaten/kota;
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
10. Pengendalian lingkungan hidup;
11. Pelayanan petanahan termasuk lintas kabupate/kota;
12. Pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil;
13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten; dan
16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
1. Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota (pada dasrnya sama, tetapi dalam skala kabupoaten/kota, pasal 14):
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakt;
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. Penanganan bidang kesehatan;
6. Penyelengaraan bidang pendidikan;
7. Penanggulangan maslah sosial;
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
10. Pengendalian lingkungan hidup;
11. Pelayanan pertanahan;
12. Pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil;
13. Pelayanan admintrasi umum pemerintahan;
14. Pelayanan administrasi penanaman modal;
15. Penyelenggaraan pelayanan dasra lainnya; dan
16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh perundang-undangan.
1. Kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengelola sumber daya alam dan sumber daya lainnya di wilayah laut (Pasal 18):
1. Eksplorasi, eksploitasi, konsevasi, dan pengelolaan laut;
2. Pengaturan administrasi;
3. Pengaturan tata ruang;
4. Penegakkan hokum terhadap peraturan yang dikeluarkan oelh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah;
5. Ikut serta pemeliharan keamanan; dan
6. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan Negara.
SUMBER PENERIMAAN PELAKSANAAN DESENTRALISASI
Untuk mendukung jalannya pemerintahan di daerah, diperlukan dana yang tidak sedikit. Akan tetapi, tidak semua daerah mampu mendanai sendiri jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu, Pemerintah harus mampu membagi adil dan merata hasil potensi masyarakat. Agar adil dan merata, diperlukan aturan yang baku. Dari ketentuan tersebut, dikeluarkan beberapa istilah tentang dana untuk keperluan pembinaan wilayah, antara lain:
1. Pendapatan Asli Daerah:
1. Pajak daerah;
2. Retribusi daerah;
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah;
4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
1. Dana Pertimbangan Daerah, terdiri atas:
1. Dana bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam;
2. Dana alokasi umum; dan
3. Dana alokasi khusus.
1. Pinjaman Daerah: daerah dpat meminjam dari dalam negeri dan luar negeri (melalui Pemerintah Pusat) dengan persetujuan DPRD.
2. Lain-lain penerimaan yang sah termasuk Dana Darurat, berasal dari pinjaman APBN.
II. PRINSIP – PRINSIP PEMBERIAN OTONOMI DAERAH DALAM UU.22/1999
1. Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab.
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah.
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administratif.
6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administratis untuk melaksanakan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
III. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DALAM MENYELENGGARAKAN OTONOMI DAERAH BERDASARKAN UU OTONOMI
Dalam implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang dilaksanakan mulai 1 Januari 2001 terdapat beberapa permasalahan yang perlu segera dicarikan pemecahannya. Namun sebagian kalangan beranggapan timbulnya berbagai permasalahan tersebut merupakan akibat dari kesalahan dan kelemahan yang dimiliki oleh UU 22/1999, sehingga merekapun mengupayakan dilakukannya revisi terhadap UU 22/1999 tersebut.
Timbulnya berbagai permasalahan tersebut lebih banyak disebabkan karena terbatasnya peraturan pelaksanaan yang bisa dijadikan pedoman dan rambu-rambu bagi implementasi kebijakan Otonomi Daerah tersebut. Jadi bukan pada tempatnya jika kita langsung mengkambinghitamkan bahkan memvonis bahwa UU 22/1999 tersebut keliru.
Otonomi Daerah dan Prospeknya di Masa Mendatang
Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 22/1999 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang pernah ada di Republik ini. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.
Untuk mengetahui prospek tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang kita gunakan disini adalah aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Dari aspek ideologi , sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan pandangan, falsafah hidup dan sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara lain pengakuan Ketuhanan, semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak azasi manusia, demokrasi, dan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat diterima dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia.
Dari aspek politik , pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah merupakan suatu wujud dari pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada Daerah. Pengakuan Pusat terhadap eksistensi Daerah serta kepercayaan dengan memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah akan menciptakan hubungan yang harmonis antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya kondisi akan mendorong tumbuhnya dukungan Derah terhadap Pusat dimana akhirnya akan dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Kebijakan Otonomi Daerah sebagai upaya pendidikan politik rakyat akan membawa dampak terhadap peningkatan kehidupan politik di Daerah.
Dari aspek ekonomi , kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global.
Dari aspek sosial budaya , kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan terhadap keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai sosial dan budaya serta potensi lainnya yang terkandung di daerah. Pengakuan Pusat terhadap keberagaman Daerah merupakan suatu nilai penting bgi eksistensi Daerah. Dengan pengakuan tersebut Daerah akan merasa setara dan sejajar dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa dan negara. Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan budaya lokal akan memperkaya khasanah budaya nasional.
Selanjutnya dari aspek pertahanan dan keamanan , kebijakan Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada masing-msing daerah untuk memantapkan kondisi Ketahanan daerah dalam kerangka Ketahanan Nasional. Pemberian kewenangan kepada Daerah akan menumbuhkan kepercayaan Daerah terhadap Pusat. Tumbuhnya hubungan dan kepercayaan Daerah terhadap Pusat akan dapat mengeliminir gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek ideologi, politik, sosal budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan Otonomi Daerah mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasya-rakat, berbangsa dan bernegara.
Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana jika berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan baik. Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif.
this me.. :D
Labels
Mengenai Saya
- all about susan
- hmmmpppp .. menilai diri sendiri itu ga' mudah,, so far gw cuma wanita biasa yg punya sejuta mimpi & harapan yg segera ingin diwujudkan!Entah penilaian orang apa, tapi.. gw ingin dikagumi bkn krn fisik semata tp inner beauty dlm diri gw.gw hanya hamba ALLAH yang berusaha menjadi KEBANGGAAN utk keluarga, sahabat, maupun di hadapan-NYA.
Pengikut
Diberdayakan oleh Blogger.