Rabu, 13 April 2011

TUGAS KEENAM KLKP

LOAN TO DEPOSIT RATIO (LDR)

1. Pengertian LDR (Loan to Deposit Ratio)

Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan rasio untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang disalurkan dibandingkan dengan jumla dana masyarakat dan modal sendiri yang digunakan.( Kasmir, 2003: 272). LDR : %100 x Equity Deposit Total Loans Total
Rasio ini menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan yang dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio ini, semakin rendah kemampuan likuiditas bank. (Dendawijaya, 2000: 118). Rasio LDR juga merupakan indikator kerawanan dan kemampuan suatu bank. Apabila kredit yang disalurkan mengalami kegagalan atau bermasalah, maka bank akan mengalami kesulitan untuk mengembalikan dana yang dititipkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah membatasi rasio antara kredit dibandingkan dengan simpanan masyarakat pada bank yang bersangkutan. Menurut Kasmir (2003: 272), batas aman LDR menurut peraturan pemerintah adalah 110%.

2. Unsur – unsur LDR (Loan to Deposit Ratio)
a. Total Loans
Total Loans adalah semua realisasi kredit dalam rupiah dan valuta asing yang diberikan bank termasuk kantornya di luar negeri, kepada pihak ketiga bukan bank baik di dalam maupun di luar negeri.

b. Total Deposit
Total deposit adalah dana yang dihimpun oleh bank yang berupa:
a) Giro, yaitu simpanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran, da penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, sarana pembayaran lainnya, atau dengan pemindah bukuan.
b) Deposito Berjangka, yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan bank yang bersangkutan.
c) Sertifikat Deposito, yaitu deposito berjangka yang bukti penyimpanannya dapat diperdagangkan.
d) Tabungan, yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dapat dipersamakan.

3. Fungsi LDR
LDR pada saat ini berfungsi sebagai indikator intermediasi perbankan. Begitu pentingnya arti LDR bagi perbankan maka angka LDR pada saat ini telah dijadikan persyaratan antara lain :
• Sebagai salah satu indikator penilaian tingkat kesehatan bank.
• Sebagai salah satu indikator kriteria penilaian Bank Jangkar (LDR minimum 50%).
• Sebagai faktor penentu besar-kecilnya GWM (Giro Wajib Minimum) sebuah bank.
• Sebagai salah satu persyaratan pemberian keringanan pajak bagi bank yang akan merger.
Begitu pentingnya arti angka LDR, maka pemberlakuannya pada seluruh bank sedapat mungkin diseragamkan. Maksudnya, jangan sampai ada pengecualian perhitungan LDR di antara perbankan.

4. Artikel LDR (Loan to Deposit Ratio)
GIRO WAJIB MINIMUM (GWM) – LOAN TO DEPOSIT RATIO (LDR)


Pada tanggal 3 September 2010, Bank Indonesia mengumumkan kebijakan baru mengenai Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah sehingga perhitungannya menjadi: GWM dalam Rupiah = GWM Primer 8% + GWM Sekunder 2,5% + GWM LDR Dengan kebijakan baru tersebut berarti terdapat perubahan perhitungan GWM, khususnya yang terkait dengan GWM primer 8% dan GWM LDR.

Sementara itu, GWM Sekunder 2,5% merupakan kebijakan GWM yang tidak mengalami perubahan. Kebijakan GWM Primer sebesar 8% pada dasarnya merupakan penyesuaian GWM primer rupiah dari yang berlaku saat ini sebesar 5% menjadi 8%.Hal ini dilakukan mengingat sektor perbankan masih mengalami ekses likuiditas yang cukup tinggi. Terhadap pemenuhan tambahan GWM Primer sebesar 3% dari DPK rupiah akan diberikan jasa giro sebesar 2,5% p.a.
Namun jasa giro tersebut tidak akan diberikan kepada bank yang memiliki GWM Primer dibawah 8%. Sementara itu, GWM LDR dalam rupiah ditetapkan dalam suatu kisaran yang dipandang mampu mendorong fungsi intermediasi perbankan dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian. Kisaran target LDR ditetapkan dengan batas bawah 78% dan batas atas 100%. Bagi bank-bank yang memiliki LDR diluar kisaran tersebut akan dikenakan disinsentif dengan ketentuan sebagai berikut: Untuk bank yang memiliki LDR lebih rendah dari batas bawah target LDR dikenakan disinsentif berupa tambahan GWM sebesar 0,1 dari DPK rupiah untuk setiap 1% kekurangan LDR.
Untuk bank yang memiliki LDR lebih tinggi dari batas atas target LDR dan memiliki CAR dibawah 14% dikenakan disinsentif berupa tambahan GWM sebesar 0,2 dari DPK rupiah untuk setiap 1% kelebihan LDR. Untuk bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas target LDR namun memiliki CAR 14% atau lebih tidak dikenakan tambahan GWM. Penerapan GWM LDR tersebut bukan yang pertama kali dilakukan.Pada triwulan terakhir tahun 2005, Bank Indonesia pernah mengeluarkan ketentuan mengenai penerapan GWM LDR yang berlaku sampai tahun 2008.Namun terdapat perbedaan diantara kedua kebijakan GWM LDR tersebut.Kebijakan GWM LDR yang dikeluarkan tahun 2005 hanya memiliki instrumen yang memberikan insentif bagi bank untuk meningkatkan LDR namun tidak memiliki mekanisme yang memberikan disinsentif jika LDR sudah dipandang terlalu tinggi.
Kebijakan penerapan GWM LDR yang baru, seperti disebutkan diatas, memiliki LDR target yang berupa kisaran. Apabila LDR sebuah bank berada dibawah target, maka terdapat insentif bagi bank tersebut untuk meningkatkan LDR. Jika LDR bank berada diatas target, maka akan ada insentif bagi bank untuk memperhatikan risiko likuiditas dengan cara menyesuaikan LDR. Dengan demikian, akan ada suatu self-correction mechanism bagi bank untuk mengoptimalkan penyaluran kreditnya namun dengan tetap mengacu pada prinsip kehati-hatian.
LDR target ditetapkan berdasarkan tujuan makro ekonomi dan mikro perbankan. Secara makro, LDR target merupakan cerminan kebutuhan kredit yang diperlukan untuk menopang target pertumbuhan ekonomi sementara secara mikro, LDR target ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi likuiditas dan LDR perbankan. Pembatasan LDR tersebut dilakukan untuk menjaga ketahanan modal dan likuiditas perbankan. Meskipun demikian, bank masih dapat meningkatkan penyaluran kredit diatas batas atas target LDR sepanjang diikuti dengan ketahanan modal yang memadai.
Dampak kebijakan GWM tersebut terhadap pergerakan suku bunga kredit perbankan diharapkan minimal. Selain karena tingginya ekses likuiditas perbankan, spread suku bunga perbankan juga masih relatif tinggi yakni sekitar 5%. Penyesuaian GWM primer akan mulai diberlakukan pada 1 November 2010, sementara penerapan GWM LDR pada 1 Maret 2011.
Implementasi GWM Primer diberikan masa transisi sekitar 2 bulan untuk memberikan waktu bagi bank menyesuaikan portofolio likuiditasnya, terkait dengan bulan puasa Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Disamping itu, likuiditas perbankan akan semakin meningkat sejalan dengan ekspansi rekening pemerintah yang tinggi di triwulan IV. Sementara itu, kebijakan GWM LDR diberikan masa transisi yang lebih lama yaitu 6 bulan, dengan harapan bank dapat melakukan penyesuaian ALMA (Asset Liability Management) untuk memenuhi ketentuan GWM LDR tersebut.

DAFTAR PUSTAKA :
• www.iei.or.id/.../MENELAAH%20LDR%20VERSI%20BARU%20SINDO%2027%20... - Mirip
• http://betawe.blogspot.com/2011/01/giro-wajib-minimum-gwm-loan-to-deposit.html

TUGAS KESEPULUH KLKP

BANK BAGI HASIL (SYARIAH)


1. PENGERTIAN BANK SYARIAH

Bank Bagi Hasil sering disebut Bank Syariah (Bank Islam) merupakan lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan operasi berdasarkan prinsip – prinsip hukum atau syariah Islam, seperti diatur dalam Al Qur’an dan Al Hadist.
Menurut Peraturan Pemerintah No.72 tahun 1992, bank berdasarkan prinsip bagi hasil dapat berbentuk Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat.
Bank Umum yang sejak awal kegiatannya berdasarkan prinsip syariah tidak diperbolehkan melakukan kegiatan usaha secara konvensional. Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah tidak diperkenankan melaksanakan kegiatan secara konvensional. Demikian juga Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional tidak diperkenankan melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah.
Ditinjau dari segi imbalan atau jasa atas penggunaan dana, baik simpanan maupun pinjaman, bank dapat dibedakan menjadi :
a. Bank Konvensional, yaitu bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya, memberikan dan mengenakan imbalan berupa bunga atau sejumlah imbalan dalam persentase tertentu dari dana untuk suatu periode tertentu. Persentase tertentu ini biasanya ditetapkan per tahun.
b. Bank Syariah, yaitu bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah yaitu jual beli dan bagi hasil.

2. SEJARAH BANK SYARIAH

Bank syariah telah lama berkembang di luar negeri seperti, antara lain di negara – negara Saudi Arabia, Kuwait, Sudan, Yordania, Iran, Turki, Bangladesh, Malaysia, dan Swiss. Al Baraka merupakan salah satu bank syariah yang telah berkembang lama dan mempunyai kegiatan – kegiatan di beberapa negara. Di Indonesia, keberadaan bank syariah dirintis sejak diberlakukannya Undang – undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan. Undang – undang tersebut menggunakan istilah ”Bank Bagi Hasil” untuk menyebut bank yang berdasarkan prinsip syariah. Ditinjau dari segi kuantitas bank, BPR yang lebih banyak beroperasi atas dasar prinsip bagi hasil sering disebut dengan BPR Syariah. Bank umum yang secara tegas menyatakan dirinya sebagai bank syariah adalah Bank Muamalat Indonesia.
Sampai dengan akhir tahun 1998, jumlah kantor bank syariah secara nasional di Indonesia adalah sebanyak 78 kantor, yang terdiri dari 1 kantor bank umum dan 77 kantor BPR. Perkembangan bank berdasarkan prinsip syariah masih sangat kecil dibandingkan dengan bank konvensional. Hingga awal tahun 2005, terdapat 3 bank umum syariah dan 16 unit usaha syariah. Lihat daftar berikut ini :

Bank Umum Syariah :
1. Bank Muamalat Indonesia (BMI)
2. Bank Syariah Mandiri (BSM)
3. Bank Syariah Indonesia
Unit Usaha Syariah :
1. Bank Ifi Syariah
2. Bank Danamon Syariah
3. Bri Syariah
4. Bank Niaga Syariah
5. Bank Permata Syariah
6. BNI Syariah
7. BII Syariah
8. Bank Riau Syariah
9. Bank Jabar Syariah
10. BPD Sumut Syariah
11. BPD Dki Syariah
12. BPD Lombok Ntb
13. BPD Aceh Syariah
14. BPD Kalsel Syariah
15. HSBC Syariah
16. BTN Syariah

Peta penyebaran bank berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dewasa ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, terutama Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi Dan Bandung. Perkembangan bank syariah justru tidak terfokus di daerah potensial, yaitu masyarakat muslim di Banda Aceh, Sumatera Barat, Dan Jawa Timur. Pola pemilihan lokasi pendirian bank syariah saat ini terlihat masih berpegang pada pola pendirian bank konvensional, yaitu daerah pertumbuhan ekonomi dan sentra perdagangan seperti Jabotabek Dan Bandung.


3. CIRI KONSEP EKONOMI SYARIAH

• Pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam rangka menjamin kelangsungan hidup masyarakatnya. Artinya, sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan dasar manusia haruslah dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemaslahatan masyarakat.
• Prinsip yang dianut dalam konsep ekonomi syariah adalah bagaimana penerapan konsep ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, karena yang menjadi dasar dari ekonomi syariah adalah Al Qur’an dan Hadits.
• Untuk sektor swasta, pemerintah atau negara harus menjamin adanya persaingan yang sehat dengan tidak adanya hal-hal yang menyalahi aturan ekonomi syariah seperti penimbunan, perjudian, ketidakjelasan, maupun riba dalam prakteknya di masyarakat.
• Pembelian suatu barang atau produk harus digunakan untuk produk-produk yang halal dan dalam penerapannya tidak disarankan untuk membeli barang secara berlebihan, namun lebih utama untuk membeli produk sesuai dengan kebutuhan sedangkan sisanya untuk diinfakkan atau disedekahkan.
• Dalam konsep ekonomi syariah, setiap individu diwajibkan untuk mengeluarkan zakat. Zakat adalah suatu instrumen penting dalam ekonomi syariah yang menjamin daya beli dari masyarakat yang tidak mampu tentunya pengeluaran zakat apabila sudah sampai nisabnya dan dikeluarkan sesuai dengan ketentuan apakah itu zakat profesi, zakat pertanian, perdagangan, zakat hadiah, dll.

4. PRINSIP PERBANKAN SYARIAH
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain :
• Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
• Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
• Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
• Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
• Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Prinsip perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya. Komentar: Hal ini sangat disayangkan karena kurangnya pengetahuan tentang prinsip tersebut sehingga masih banyak masyarakat yang kurang percaya dan kurang merasa mudah menggunakan fasilitas-fasilitas yang terdapat dalam prinsip-prinsip Bank Syari'ah. Didalam perbankaqn syari'ah telah diatur berbagai macam transaksi yang tidak merugikan bagi kedua pihak. Karena jika sampai ada yang dirugikan dan dirugikan maka sudah melanggar ajaran Islam itu sendiri. Prinsip perbankan syari'ah itu sendiri bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits.

5. PRODUK PERBANKAN SYARIAH
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:

A. Jasa untuk peminjam dana
• Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
• Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan.
• Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.

• Takaful (asuransi islam)
B. Jasa untuk penyimpan dana
• Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah.
• Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.

6. KEGIATAN USAHA BANK SYARIAH
Bank wajib menerapkan prinsip syariah dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi :

1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi :
• Giro berdasarkan prinsip wadi’ah
• Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah
• Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, atau
• Bentuk lain berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah.
2. Melakukan penyaluran dana melalui :
• Transaksi jual beli berdasarkan prinsip murabahah, istishna, ijarah, salam, dan jual beli lainnya.
• Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah, musyarakah, dan bagi hasil lainnya.
• Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip hiwalah, rahn, qardh, membeli, menjual, dan/ atau menjamin atas risiko sendiri surat – surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip jual – beli atau hiwalah.
• Membeli surat – surat berharga pemerintah dan/ atau Bank Indonesia yang diterbitkan atas dasar prinsip syariah.
3. Memberikan jasa – jasa :
• Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/ atau nasabah berdasarkan prinsip wakalah.
• Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan melakukan perhitungan dengan atau antarpihak ketiga berdasarkan prinsip wakalah.
• Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat – surat berharga berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah, dan lain – lain.

4. Melakukan kegiatan lain seperti :
• Melakukan kegiatan dalam vahita asing berdasarkan prinsip sharf.
• Melakukan kegiatan penyertaan modal berdasarkan prinsip musyarakah dan/ atau mudharabah pada bank atau perusahaan lain yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
• Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan dalam perundang – undangan dana pensiun yang berlaku, dan lain – lain.
5. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank sepanjang disetujui oleh Dewan Syariah Nasional
Dalam hal bank akan melakukan kegiatan usaha yang belum difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional, bank wajib meminta persetujuan Dewan Syariah Nasional sebelum melaksanakan kegiatan usaha tersebut.

7. CONTOH KASUS KEUNGGULAN SISTEM SYARIAH
Ada suatu contoh kasus sederhana yang umum yang menunjukkan keunggulan sistem syariah sekaligus menunjukkan rapuhnya sistem bunga. Misalkan pada bank konvensional mengelola dana nasabahnya 20 milyar dan memberikan bunga 10% kepada nasabahnya. Pada bulan tersebut bank mendapatkan laba usaha 4 milyar, bank harus membayarkan 10% dari 20 milyar yaitu 2 milyar kepada nasabahnya sehingga keuntungan bersih bank menjadi 2 milyar. Pada bulan berikutnya karena kondisi ekonomi yang buruk dan ditambah dengan banyaknya kredit yang macet, bank mendapatkan keuntungan usaha hanya 1 milyar. Bank tetap harus membayar bunga 10% dari 20 milyar yaitu 2 milyar kepada nasabahnya sehingga bank mengalami kerugian sebesar 1 milyar.
Untuk contoh kasus yang sama, bank syariah mengelola dana nasabahnya 20 milyar dan memberikan bagi hasil 60% untuk nasabah. Jika pada saat tersebuat bank syariah juga mendapat laba usaha 4 milyar, bagi hasil yang diberikan kepada nasabahnya sebesar 60% dari 4 milyar yaitu 2,4 milyar sehingga laba bersih yang diterima bank sebesar 1,6 milyar. Pada bulan berikutnya terjadi penurunan laba usaha menjadi sebesar 1 milyar. Bank memberikan bagi hasil untuk nasabahnya sebesar 60% dari 1 milyar yaitu 600 juta dan bank masih mendapatkan keuntungan sebesar 400 juta.
Dari contoh kasus tersebut dapat kita lihat bahwa berapapun keuntungan yang diterima bank syariah, bank dan nasabah masing-masing mendapatkan keuntungan. Berbeda dengan bank syariah, bank konvensional bisa mendapatkan keuntungan yang besar ketika mendapatkan laba usaha yang besar namun keuntungan yang diterima nasabah tidak bertambah. Selain itu bank rentan mendapat kerugian apabila laba usaha yang didapat mengalami penurunan yang signifikan.
Jadi cukup jelas bahwa sistem syariah lebih adil, stabil, dan menguntungkan jika dibandingkan dengan sistem konvensional. Coba kita bayangkan, jika seseorang meminjam dana untuk usaha ke bank konvensional, orang tersebut akan dibebankan dengan bunganya setiap bulan apalagi jika bunganya adalah bunga berbunga tentu saja dapat mematikan usaha orang tersebut hanya karena besarnya bunga yang harus ditanggung olehnya.
Contoh kasus diatas bukan hanya sekedar permisalan belaka, hal tersebut merupakan gambaran dari apa yang terjadi pada masa krisis ekonomi 97-98 yang lalu, dimana banyak bank yang dilikuidasi karena tidak mampu mengembalikan dana nasabahnya apalagi membayar bunganya. Juga banyaknya usaha masyarakat yang gulung tikar akibat tidak mampu membayar hutang pinjaman yang telah ditambah dengan bunga tentunya.
Masih kurang cukup, coba kita tengok negara kita tercinta ini, setiap tahun pemerintah mengalokasikan sebagian besar dana APBN untuk membayar hutang negara. Bukan hanya itu saja, kabarnya jumlah dana yang dibayarkan kepada negara donor hanya untuk membayar bunganya saja, hanya sebagian kecil yang benar-benar dibayarkan untuk membayar hutang. Semakin banyak pemerintah berhutang dan apabila pemerintah tidak dapat membayar hutang pada saat jatuh tempo tentu saja menambah beban yang harus ditanggung bangsa ini.

ARTIKEL TENTANG SYARIAH
“ ISU-ISU KONTEMPORER AKUNTANSI SYARI’AH”

LATAR BELAKANG
Pada awal tahun 90-an Indonesia pada khususnya telah menunjukkan keadaan perubahan yang lebih membaik. Perkembangan sistem ekonomi dan bisnis berlandaskan Islam telah menujukkan trend yang cukup menggembirakan. Hadirnya lembaga keuangan syari’ah di belahan bumi menunjukkan langkah kemajuan keberadaan sistem ekonomi dan bisnis Islam di tanah air ini. Lembaga-lembaga seperti itu adalah organisasi yang bercirikan “amanah”. Dalam organisasi semacam ini, keberadaan etika sangat penting. Bagi umat Islam, kegiatan bisnis (temasuk bisnis perbankan) tidak akan pernah terlepas dari ikatan etika Islam.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa nilai-nilai, sistem dan filsafat sebuah ilmu akan turut menentukan model ilmu yang berkembang di suatu negara. Apabila suatu negara menganut sistem ekonomi kapitalisme, maka sistem akuntansi yang berkembang adalah sistem akuntansi kapitalis. Demikian pula, apabila suatu negara mengikuti sistem ekonomi Islam maka upaya yang harus dikembangkan adalah sistem Akuntansi Syari’ah.
Mempelajari dan menerapkan Akuntansi Syari’ah, pada hakekatnya adalah belajar dan menerapkan prinsip keseimbangan (balance) atas transaksi atau perkiraan atau rekening yang telah dicatat untuk dilaporkan kepada yang berhak mendapatkan isi laporan. Islam adalah cara hidup yang berimbang dan koheren, dirancang untuk kebahagiaan (falah) manusia dengan cara menciptakan keharmonisan antara kebutuhan moral dan material manusia dan aktualisasi sosio-ekonomi, serta persaudaraan dalam masyarakat manusia. Triyumono menyatakan bahwa Akuntansi Syari’ah merupakan salah satu upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk humanis dan syarat nilai.
Islam melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansi yang harus diikuti oleh para pelaku transaksi atau pembuat laporan akuntansi adalah menekankan pada konsep pertanggungjawaban atau accountability, sebagai ditegaskan dalam surat Al Baqaroh ayat 282. Disamping itu, Akuntansi Syari’ah harus berorietasi sosial. Akuntansi Syari’ah tidak hanya sebagai alat ukur untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi sebagai suatu metode untuk menjelaskan fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam.
Penelitian yang dilakukan oleh Hayashi (1995) dalam bukunya yang berjudul On Islamic Accounting yang dijelaskan bahwa akuntansi kapitalis, konsep Akuntansi Syari’ah, perhitungan zakat dan kasus Feisal Islamic Bank di Kairo dan praktek bisnis di Arab Saudi. Hayashi mengemukakan perbedaan yang mendasar antara akuntansi kapitalis dan Islam. Akuntansi Syari’ah memiliki metarule yaitu hukum Islam yang digambarkan oleh Al Qur’an dan Hadits sedangkan akuntansi kapitalis tidak memiliki itu. Akuntansi kapitalis hanya bergantung pada keinginan user sehingga bersifat lokal dan situasional.
Penelitian yang dilakukan oleh Adnan (1996) yang berjudul An Invetigation of Accounting Concepts an Practice in Islamic Banks, The Case of Bank Islam Malaysia Berhad dan Bank Muamalat Indonesia yang dalam kesimpulannya sebagai berikut:

1. Secara koseptual, kedua bank masih memakai konsep dan praktik yang lazim dilakukan dalam akuntansi konvensional.
2. Tinjauan kritis bahwa sebenarnya tidak semua konsep dasar akuntansi dapat diterima secara syari’ah.
3. Berdasarkan butir kedua di atas khususnya menyiratkan perlunya dibangun model akuntansi yang memang sesuai dengan syari’ah, bila diharapkan terjadi konsistensi antara gerak ekonomi Islam dan istrumen pendukungnya.
Dalam pandangan Iwan Triyuwono bahwa Akuntansi Syari’ah yang berorientasi sosial merupakan salah upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan sarat nilai. Tujuanya adalah tercipta peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental dan teleologikal. Konsekuensi ontologis dari hal ini adalah bahwa akuntan secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas (peradaban) semu beserta jaringan-jaringan kuasanya, untuk kemudian memberikan atau menciptakan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-hari.
Akuntansi Syari’ah adalah akuntansi yang berorientasi sosial. Artinya akuntansi ini tidak hanya sebagai alat untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi juga sebagai suatu metode menjelaskan bagaimana fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam. Akuntansi Syari’ah termasuk didalamnya isu yang tidak biasa dipikirkan oleh akuntansi konvensional. Perilaku manusia diadili di hari kiamat. Akuntansi harus dianggap sebagai salah satu derivasi/hisab yaitu menganjurkan yang baik dan melarang apa yang jelek. Realitas Akuntansi Syari’ah adalah tercermin dalam akuntansi zakat.
Wacana di sekitar akuntansi syariah ini mucul, kurang lebih sama dengan atau tidak lama setelah kemunculan kembali bank Islam itu sendiri. Sejak itu banyak tulisan atau publikasi tentang akuntansi syariah oleh para pakar misalnya Abdel Magid (1981), Ba-Yunus (1988), Badawi (1988), Hayashi (1989), Adnan (1996), Triyuwono (1996), Harahap (1996), Muhammad (2005) untuk menyebut beberapa contoh diantaranya.
Ada sejumlah argumentasi yang diajukan, mengapa Akuntansi Syari’ah harus berbeda dengan akuntansi konvensional. Diantaranya adalah karena faktor-faktor tujuan. Siapapun yang bertransaksi dengan cara Islam, harus diasumsikan bahwa tujuannya adalah dalam rangka mematuhi perintah Allah dan sekaligus ridha-Nya. Ini tentu sangat berbeda dengan tujuan yang biasa ingin dicapai akuntansi konvensional, yang biasanya hanya sarat dengan nilai-nilai keduniawian, tetapi kering dari nilai-nilai ukhrawi. Secara lebih spesifik, dengan merujuk pada Statement of Financial Accounting (SFA) No. 1, alasan yang dipakai menyusun tujuan yang berbeda untuk Akuntansi Syari’ah adalah karena:
1. Islamic banks must comply with the principles and rules of Shari’a in all their financial and other dealings.
2. The functions of Islamic banks are significantly different from those of traditional banks who have adopted the Western model of banking.
3. The relatioship between Islamic banks and the parties that deal with them differs from the relatioship of those who deal with the traditional banks. Unlike traditional banks, Islamic banks do not use interest in their investment and financing transactions, whereas traditional banks borrow and lend money on the basis of interest.
Pendapat di atas rasanya cukup jelas dan masuk akal, bila kemudian disimpulkan bahwa wajar – bahkan haruslah – Akuntansi Syari’ah tidak sama dengan akuntansi konvensional. Disamping itu kalau seseorang mencoba memahami hakekat keberadaan akuntansi sebagai alat yang tidak bebas nilai, dan bahkan penuh kompromi untuk berbagai kepentingan pihak tertentu. Ada dua aliran yang terjadi, pertama adalah mereka yang menghendaki tujuan dan berbagai kaidah Akuntansi Syari’ah dibangun atas dasar prinsip dan ajaran Islam, lalu membandingkannya dengan pemikiran-pemikiran akuntansi kontemporer yang sudah mapan. Kedua, adalah berangkat dari tujuan dan kaidah akuntansi konvensional yang sudah ada, kemudian mengujinya dari padang Islam. Bagian yang dipandang sejalan diterima dan dipakai, sedangkan bagian yang dipandang tidak sesuai ditolak.

DAFTAR PUSTAKA :
• http://re-searchengines.com/1107kesiper.html
• http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah
• http://www.anneahira.com/artikel-ekonomi-syariah.htm
• http://irma20.multiply.com/journal/item/10/Sistem_syariah_vs_bunga_bank
• http://imanph.wordpress.com/akuntansi-syariah/

TUGAS KEDUA KLKP

“PROSES KLIRING”

LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam pelaksanaan operasional perbankan sehari-hari pelayanan terhadap nasabah merupakan sesuatu yang paling diutamakan. Oleh karena itu kemudahan-kemudahan untuk memperlancar transaksi yang dilaksanakan oleh para nasabah harus dijamin kelancarannya. Guna merealisir tujuan tersebut, maka para nasabah dapat mempercayakan segala kegiatan pembayaran maupun penagihan terhadap realisasi usahanya kepada bank. Atas dasar itulah maka terjadi utang piutang antar bank. Agar pelaksanaan penagihan dan pembayaran antar bank tersebut berjalan lancar maka dibentuklah lembaga yang bertugas melaksanakan perhitungan hutang piutang antar bank yang lazim disebut lembaga kliring. Dengan adanya lembaga kliring masalah waktu, tempat, biaya, yang dibutuhkan untuk penyelesaian utang piutang telah ditentukan dan diorganisir.
Penyelenggaraan kliring antar bank dimaksudkan untuk mempermudah cara pembayaran dalam upaya memperlancar transaksi perekonomian dengan perantaraan perbankan (bank peserta kliring) dan Bank Indonesia yang bertindak sebagai penyelenggara kliring. Dengan adanya kliring diharapkan penggunaan alat-alat lalu lintas pembayaran giral (uang giral) seperti Cek, Bilyet Giro, Nota Kredit, Nota Debet dan lain-lain di masyarakat dapat meningkat sehingga otomatis akan meningkatkan simpanan dana masyarakat di Bank yang dapat dipergunakan oleh bank untuk membiayai sektor-sektor produktif di masyarakat.
Namun dalam sistem kliring terdapat risiko pada akhir hari bahwa suatu bank akan mengalami kekalahan kliring dalam jumlah yang cukup besar karena seluruh transaksi antar bank baik yang bersifat retail transactions maupun large value transactions dilaksanakan melalui kliring. Apabila jumlah kekalahan kliring ini melampaui saldo rekeningnya di Bank Indonesia, maka saldo bank tersebut di Bank Indonesia akan menjadi negatif (overdraft) yang pada gilirannya overdraft keesokan harinya.

PEMBAHASAN
Untuk mengetahui proses terjadinya kliring, dapat dilihat dalam contoh kasus berikut ini :
Contoh kasus :
• Gino adalah nasabah dari Bank Siti
• Atun adalah nasabah dari Bank Karman
• Bank Indonesia merupakan tempat pertemuan masing-masing Bank tersebut, yaitu Bank Siti dan Bank Karman. Namun dengan persyaratan bahwa Bank Siti dan Bank Karman harus mempunyai simpanan pada Bank Indonesia atau rekening Koran pada Bank Indonesia dengan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu minimal 8% dari deposito.

Kegiatan I : Gino memberikan cek kepada Atun sebesar Rp 10.000.000
Proses Kliring :
Pada suatu hari terjadilah transaksi antara nasabah bernama Gino dengan nasabah bernama Atun. Gino memberikan cek sebesar 10jt kepada Atun. Atun yang merupakan nasabah dari Bank Karman ingin mencairkan cek sebesar 10jt tersebut kepada Bank Karman. Karena Atun tidak ingin mencairkan cek tersebut menjadi uang tunai, maka cek tersebut dicairkan kepada Bank Karman dengan tujuan untuk dipindahbukukan dan masuk sebagai tabungan Atun. Karena tabungan Atun bertambah sebesar 10jt, maka pada rekening tabungan Atun di Bank Karman akan berada pada sisi kredit (+).
Dalam kasus ini, cek yang diberikan oleh Gino berasal dari Bank yang berbeda karena Gino merupakan nasabah dari Bank Siti. Untuk itu maka Bank Karman akan melaporkan kepada Bank Siti melalui perantara yaitu Bank Indonesia, proses ini sering disebut sebagai Nota Debet Keluar. Maka transaksi tersebut dicatat dengan mendebet rekening Koran pada Bank Indonesia sebesar 10jt, dan mengkredit tabungan Atun sebesar 10jt.
Nota Debet Keluar dari Bank Karman diterima oleh Bank Indonesia. Proses selanjutnya yaitu Bank Indonesia akan menyampaikan kepada Bank Siti bahwa cek yang telah dikeluarkan oleh nasabah Gino telah dicairkan oleh nasabah Atun kepada Bank Karman. atau sering disebut sebagai Nota Debet Masuk. Maka Bank Indonesia mencatat transaksi tersebut yaitu dengan mendebet rekening Koran pada Bank Siti dan menkredit rekening Koran pada Bank Karman masing-masing sebesar 10jt.
Proses transaksi berakhir pada Bank Siti. Setelah Bank Siti menerima Nota Debet Masuk dari Bank Indonesia, maka Bank Siti mencatat transaksi tersebut dengan mendebet Giro Gino sebesar 10jt dan mengkredit rekening Koran pada Bank Indonesia sebesar 10jt.

Kegiatan II : Nasabah Gino sedang berulang tahun, dan nasabah Atun mentransfer uang sebesar Rp 20.000.000 ke rekening tabungan Gino
Proses Kliring :
Dalam kasus ini, Atun meminta kepada Bank Karman untuk memindahkan uangnya yang berada di rekening tabungan sebesar 20 jt ke rekening tabungan milik Gino yang berada pada Bank Siti. Sebelum Bank Karman menyampaikan kepada Bank Siti, Bank Karman tentunya membutuhkan perantara yaitu melalui Bank Indonesia. Proses yang berlangsung antara Bank Karman kepada Bank Indonesia ini sering disebut sebagai Nota Kredit Keluar. Maka transaksi tersebut dicatat oleh Bank Karman yaitu dengan mendebet tabungan Atun sebesar 20jt dan mengkredit rekening Koran pada Bank Indonesia sebesar 20jt.
Setelah Nota Kredit Keluar dari Bank Karman diterima oleh Bank Indonesia, maka proses selanjutnya yaitu Bank Indonesia akan menyampaikan kepada Bank Siti perihal nasabah Atun yang mentransfer uang sebesar 20 jt untuk dimasukkan ke rekening tabungan Gino. Proses yang berlangsung antara Bank Indonesia kepada Bank Siti ini sering disebut sebagai Nota Kredit Masuk. Maka Bank Indonesia mencatat transaksi tersebut yaitu dengan mendebet rekening Koran pada Bank Karman sebesar 20 jt dan mengkredit rekening Koran pada Bank Siti sebesar 20 jt.
Setelah Nota Kredit Masuk dari Bank Indonesia diterima oleh Bank Siti, maka proses transaksi ini berakhir pada Bank Siti. Maka Bank Siti akan mencatat transaksi tersebut yaitu dengan mendebet rekening Koran pada Bank Indonesia sebesar 20 jt dan mengkredit tabungan Gino sebesar 20 jt.

KESIMPULAN
Dalam proses kliring kegiatan pertama yaitu bahwa terjadi transaksi antar nasabah Gino yang memberikan cek sebesar 10 jt kepada nasabah Atun. Mereka mempunyai dua Bank yang berbeda, nasabah Gino yang merupakan nasabah dari Bank Siti dan nasabah Atun yang merupakan nasabah dari Bank Karman. Dalam proses kliring yang terjadi dapat disimpulkan bahwa terjadi warkat kliring yang diserahkan suatu Bank (Bank Karman) kepada peserta Bank lain (Bank Siti).
Warkat kliring tersebut yaitu meliputi :
1. Nota Debet Keluar : warkat-warkat ke peserta kliring lain yang disetorkan oleh nasabah suatu bank untuk keuntungan rekening nasabah.
Dalam hal ini apabila Bank mengeluarkan Nota Debet Keluar, maka saldo pada Bank Indonesia akan bertambah.
2. Nota Debet Masuk : warkat-warkat yang diserahkan oleh peserta lain yang disetor oleh nasabah atas beban nasabah bank yang bersangkutan.
Dan sebaliknya apabila Bank mengeluarkan Nota Debet Masuk, maka saldo pada Bank Indonesia akan berkurang.
Sedangkan dalam proses kliring kegiatan kedua yaitu bahwa nasabah Atun mentranfer uang sebesar 20 jt ke rekening tabungan Gino. Sehingga dapat disimpulkan bahwa warkat kliring yang terjadi yaitu meliputi :
1. Nota Kredit Keluar : warkat-warkat yang berupa pembebanan ke rekening giro nasabah atas beban Bank yang bersangkutan terhadap transaksi yang dilakukan oleh nasabah tersebut.
Dalam hal ini apabila Bank mengeluarkan Nota Kredit Keluar, maka saldo pada Bank Indonesia akan berkurang.
2. Nota Kredit Masuk : warkat-warkat yang diserahkan oleh peserta lain untuk keuntungan nasabah bank yang bersangkutan.
Dan sebaliknya apabila Bank mengeluarkan Nota Kredit Masuk, maka saldo pada Bank Indonesia akan bertambah.
Dalam peristiwa kliring, terdapat istilah kalah kliring (tolakan kliring) dan menang kliring. Tolakan kliring akan terjadi apabila saldo yang terdapat di Bank Indonesia kurang dari 8%, sehingga Bank Indonesia akan dilikuidasi (kalah kliring). Namun hal itu dapat dihindari jika Bank tersebut mampu mempunyai simpanan pada Bank Indonesia lebih dari 8%.

this me.. :D

this me.. :D
saya saya saya