Diskriminasi terhadap kaum minoritas di Indonesia masih merupakan masalah
aktual. Hal ini seharusnya tidak terjadi lagi, karena dalam masa reformasi ini telah diadakan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, serta oleh pemerintahpemerintah sejak masa Presiden Habibie, Gus Dur, hingga Megawati telah dikeluarkan beberapa Inpres yang menghapuskan peraturan-peraturan pemerintah sebelumnya khususnya ORDE BARU yang bersifat diskriminatif terhadap kebudayaan minoritas, dalam arti adat istiadat, agama dari beberapa suku bangsa minoritas di tanah air. Mengapa hal demikian dapat terjadi terus, seakan-akan rakyat kita sudah tak patuh lagi dengan hukum yang berlaku di negara kita. Untuk menjawab ini, tidak mudah karena penyebabnya cukup rumit, sehingga harus ditinjau dari beberapa unsur kebudayaan, seperti politik dan ekonomi. Dan juga psikologi dan folklornya.
Diskriminasi terhadap Kaum Minoritas Masih Tetap Aktual Sehingga perlu
ditanggulangi Segera secara Tuntas
Sebelum sampai pada pembicaraan kita, ada baiknya ditinjau dahulu beberapa konsep yang mendasari topik kita, yakni: diskriminasi, minoritas, dan hubungan antara kelompok [intergroup relation].
Menurut Theodorson & Theodorson, (1979: 115-116): Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya akan untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi. Dalam arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat. Aktif atau aspek yang dapat terlihat (overt) dari prasangka yang bersifat negatif [negative prejudice] terhadap seorang individu atau suatu kelompok. Dalam rangka ini dapat juga kita kemukakan definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbunyi demikian: “Diskrimasi mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya [merit].
Perlu kiranya dicatat di sini, bahwa dalam arti tertentu diskriminasi mengandung arti perlakuan tidak seimbang terhadap sekelompok orang, yang pada hakekatnya adalah sama dengan kelompok pelaku diskriminasi. Obyek diskriminasi tersebut sebenarnya memiliki beberapa kapasitas dan jasa yang sama, adalah bersifat universal. Apakah diskriminasi dianggap illegal, tergantung dari nilai-nilai yang dianut masyarakat bersangkutan, atau kepangkatan dalam masyarakat dan pelapisan masyarakat yang berlandaskan pada prinsip diskriminasi. Demikianlah para tamtama/prajurit [private] di dalam jajaran ketentaraan secara sah [legitimated] didiskriminasikan [diperlakukan tak seimbang], berdasarkan kedudukannya yang masih rendah, walaupun ia telah memiliki kemampuan yang sama, atau bahkan melebihi para perwira atasan mereka. Namun beberapa komunitas khayalan [utopian communities] telah mencoba untukmenghapuskan perbedaan-perbedaan semacam itu, dalam kedudukan kepangkatan, seringkali berdasarkan keyakinan bahwa semua orang beragama adalah sama di mata Tuhan; dan di Amerika Serikat penyebaran nilai-nilai politik dan agama telah membawa perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat, telah menyebabkan terjadinya perlawanan terhadap segala macam diskriminasi yang bersifat agama, ras, bahkan kelaskelas masyarakat. Kriteria masyarakat, untuk apa yang dianggap perlakuan diskriminasi terhadap seorang maupun kelompok, selalu bergeser, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya.
Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 258-259), kelompok minoritas [minority groups] adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka [prejudice] atau diskriminasi istilah ini pada umumnya dipergunakan bukanlah sebuah istilah teknis, dan malahan, ia sering dipergunakan untuk menunjukan pada kategori perorangan, dari pada kelompok-kelompok. Dan seringkali juga kepada kelompak mayoritas daripada kelompok minoritas. Sebagai contoh, meskipun kaum wanita bukan tergolong suatu kelompok (lebih tepat kategori masyarakat), atau pun suatu minoritas, yang oleh beberapa penulis sering digolongkan sebagai kelompok minoritas, karena biasanya dalam masyarakat, yang berorientasi pada pria/male chauvinism, sejak jaman Nabi Adam telah didiskriminasikan sebaliknya, sekelompok orang, yang termasuk telah memperoleh hak-hak istimewa [privileged] atau tidak didiskriminasikan, tetapi tergolong minoritas secara kuantitatif, tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok minoritas. Oleh karenannya istilah minoritas tidak termasuk semua kelompok, yang berjumlah kecil, namun dominan dalam politik. Akibatnya istilah kelompok minoritas hanya ditujukankepada mereka, yang oleh sebagian besar penduduk masyarakat dapat di jadikan obyek prasangka atau diskriminasi.
Akhimya perlu juga dijelaskan tentang hubungan antara kelompok [lntergroup relation] . Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 212) pada dasarnya istilah ini berarti penelitian mengenai hubungan antar kelompok, seperti pada kelompok minoritas dan kelompok mayoritas. Selain itu juga konsisten, atau konflik di antara suku-suku bangsa, atau kelompok-kelompok ras, sehinga dapat dianggap sebagai masalah sosial.
Diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang ada di Republik Indonesia yaitu Kelompok minoritas tersebut dapat berupa suku bangsa (etnis), kelompok agama, dan kelompok gender [gender] seperti kaum perempuan dan kaum homo seksual (baik gay maupun lesbian).
Pemfokusan ini berdasarkan kenyataan bahwa walaupun negara kita sudah merdeka
sejak tanggal 17 Agustus 1945, serta telah mempunyai UUD 45 yang pada Bab X tentang “Warga Negara” pasal 27 ayat 1, yang menganggap semua WNI memiliki persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualian, dan ayat 2 mengatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun sedihnya dalam riwayat hidupnya bangsa kita, telah diselewengkan oleh para pemimpinpemimpin di kemudian hari, yang sudah mulai berlaku sejak jaman ORLA, dan terutama mencapai puncaknya pada jaman ORBA.
Sebagai contoh misalnya orang Tionghoa di Indonesia bersama-sama dengan
orang Arab, India, pada masa Kolonial Belanda digolongkan sebagai golongan Timur
Asing, kemudian pada-masa Kemerdekaan mereka semuanya apabila mau mengakui
Indonesia sebagai tanah airnya, dan serta pada negara R.I. dapat dianggap sebagai
Warga Negara Indonesia. (lihat UUD 45, Bab X, pasal 26, ayat 1). Namun perlakuannya
terhadap mereka ada perbedaan. Bagi keturunan Arab, karena agamanya sama dengan yang dipeluk suku bangsa mayoritas Indonesia, maka mereka dianggap “Pri” [Pribumi] atau bahkan “Asli”, sedangkan keturunan Tionghoa, karena agamanya pada umumnya adalah Tri Dharma (Sam Kao), Budis, Nasrani dan lain-lain. Keturunan India yang beragama Hindu dan Belanda yang beragama Nasrani, dianggap “Non Pri”. Dengan stikma “Non Pri” tersebut kedudukan mereka yang bukan “pribumi”, terutama keturunan Tionghoa terasa sekali pendiskriminasiannya. Bahkan oleh pemerintah ORBA, telah dikeluarkan beberapa Peraturan Presiden yang menggencet mereka, bahkan dengan politik pembauran yang bersifat asimilasi. Sehingga sebagai etnis mereka tidak boleh eksis. Untuk menunjang politik yang sangat beraroma rasis itu. Oleh Pemerintah Soeharto telah dikeluarkan beberapa Keputusan Presiden seperti: Pelarangaran Sekolah dan Penerbitan berbahasa Cina; keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai Penggantian Nama; Instruksi Presiden No. 14/1967, yang mengatur Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Keturunan Cina. Keputusan Presiden No.240/1967 mengenai Kebijakan pokok yang menyangkut WNI keturunan Asing, serta Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina (Thung, 1999: 3-4). Lucunya dalam era reformati (plesetan dari istilah reformasi). Walaupun Pemerintah Presiden BJ. Habibie sudah memutuskan membatalkan semua peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, seperti yang tertuang dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No.26 tahun 1998; namun anehnya pada tahun 1999, ia malah memberi bintang kehormatan Maha Putra pada dua tokoh Asimilasi dari pihak etnis Tionghoa seperti Junus Jahja dan K. Sindhunata SA. Penghargaan ini memberi kesan bahwa Habibie masih setuju dengan politik asimilasi dari ORBA.
Isi Instruksi Presiden No.26 tahun 1998, yang dikeluarkan pada tanggal 16
September 1998, dan ditujukan kepada para Menteri, para pemimpin Lembaga
Pemerintah Non Departemen, para pemimpin Kesekretarian Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negara, dan para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, dan Bupati/Walikota Kota Madya,
Kepala Daerah Tingkat II. Isinya antara lain, adalah: Pertama mengenai penghentian
penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijaksanaan, perencanaan program, atau pelaksanaan kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan; Kedua memberikan perlakuan dan layanan yang sama
bagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa perlakuan berbeda atas dasar suku bangsa, agama, ras maupun asal usul. Ketiga meninjau kembali, dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang selama ini telah ditetapkan dan dilaksanakan, termasuk dalam pemberian layanan perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja dan penentuan gaji atau penghasilan dan hak-hak pekerjaan lain, sesuai dengan instruksi Presiden ini; dan sebagainya. Alasan yang merupakan rasionalisasi bagi mereka yang
mendukung politik pembauran asimilasi adalah bahwa jika orang Tionghoa semua sudah tukar nama, bahkan masuk agama Islam, maka tidak akan ada “masalah Cina” lagi sebagai contoh mereka tunjukan kejadian yang sudah terjadi di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Filipina, di kedua negara tersebut orang Tionghoa telah masuk agama Katolik (di Filipina) dan Budis (di Thailand). Sehingga logisnya orang Tionghoa di Indonesia harus masuk Islam, seperti yang telah dilakukan oleh Pak Junus Jahya (Lauw Chuan Tho) yang sejak tanggal 23 Juni 1979 secara resmi telah memeluk agama Islam. Menurut dia orang Indonesia Tionghoa harus masuk Islam, untuk mencegah terulangnya terjadi pembunuh massal [massacre] terhadap mereka di
Indonesia, seperti pada permulaan Kemerdekaan R.I dan yang terakhir pada tgl. 13 -15
Mei 1998.
Salah seorang eksponen kalangan muda tentang politik asimilasi adalah Soe Hok Gie (adik kandung Dr. Arief Budiman), waktu saya tanya mengapa ia tidak tukar nama? Jawabnya adalah “Pak politik asimilasi ini sudah diselewengkan oleh para Jenderal, sehingga akan menyusahkan orang keturunan Tionghoa!”. Memang dalam kenyataan akibat dari politik asimilasi tersebut, orang keturunan Tionghoa oleh para anti Cina malah lebih didiskriminasikan, Buktinya setelah tukar nama, orang keturunan Tionghoa masih tetap dianggap “Cina”. Penyebabnya adalah stereotip yang tetap melekat pada mereka, bahkan diperkuat dengan hukum, untuk didiskrirninasi, seperti diperas, jika hendak mengurus surat di kantor-kantor pemerintah. Mereka didiskriminasi jika mau masuk ke sekolah negeri. Di Universitas negeri mereka yang lulus UMPTN tidak diterima, setelah terlihat pada pas fotonya, karena raut mukanya berciri ras mongoloid Asia Timur. Demikian juga jika mereka mau masuk ke AKABRI. Setelah masa Reformasi perlakuan semacam itu masih terus berlaku sampai sekarang. Memang sifatsifat stereotip pada orang Tionghoa, sukar sekali dihapuskan, terutama bagi pejabatpejabat yang hendak memeras. Karena bagi mereka orang Tionghoa itu kaya, sehingga dapat dijadikan sumber keuangan mereka, yang sebagai pegawai negeri gaji bulanannya memang sangat tidak memadai, untuk dapat hidup sebagai layaknya manusia dari negarayang menjunjung tinggi HAM. Walaupun sejak pemerintahan Habibie, orang dari suku bangsa Tionghoa jika mau sekolah, berdagang, membuat paspor, KTP, masih ada yang diminta mempertunjukan Surat Bukti Kewarganegaran Indonesia (SBKI).
Walaupun diskriminasi terhadap pemeluk agama tertentu, sejak masa reformasi ini telah mulai lenyap, tetapi tidak terjadi pada semua agama minoritas. Sejak masa reformasi ini agama minoritas yang telah memperoleh pengakuan sebagai salah satu
agama yang diakui di Indonesia adalah agama Konghucu, sehingga salah satu hari
rayanya yang dihubungkan dengan agama tersebut, yakni Imlek sejak tahun 2003, telah disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Hari Raya Nasional. Namun di lain pihak ada tuntutan dari agama Minoritas orang Jawa (Kejawen) yang belum terpenuhi aspirasinya beragama.
Dalam Koran KOMPAS , Kamis 10 April 2003 , Halaman 7, ada pernyataan bahwa umat agama tersebut merasa dilecehkan dan dianggap seolah bukan warga Negara Indonesia. Untuk itu Masyarakat Peduli Hak Sipil dan Budaya bersama puluhan aktivis penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME), Rabu 9 April 2003 telah mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka diterima Wakil ketua Komnas HAM Salahudin Wahid. Dalam pernyataan tertulis yang dibacakan wakil mereka Dewi Kanti, disebutkan bahwa para penghayat bukan hanya menghadapi sejumlah piranti hukum, yang melecehkan hak sipil dan budaya, tetapi juga menghadapi pejabat Negara yang menganggap para penghayat seolah bukan sebagai WNI. Sejak lahir para penghayat berhadapan dengan tindakan diskriminatif. Anak-anak pasangan penghayat tidak bisa mendapat surat kenal lahir atau akta kelahiran, dengan alasan pernikahan mereka dianggap tidak sah. Pada hal mereka telah melangsungkan pernikahan sesuai dengan adat dan kepercayaan masing-masing. Dinikahkan dengan penuh kasih, direstui orang tua, handai taulan, keluarga dan saksi mereka. Para penghayat juga kesulitan mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), karena tidak mau mengisi kolom agama yang resmi diakui negara. Contoh terakhir perlakuan buruk terjadi atas para penghayat Ajaran Karuhun Urang di Cigujur, Kuningan, Jawa Barat, yang merasa dihina dalam film berjudul Kafir.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa diskriminasi terhadap kaum minoritas, dalam arti masih berlangsung terus. Penyebabnya memang sebagian oleh seniman diskriminasi ras, namun yang lebih tepat lagi adalah karena “fulus”, yakni uang atau dana, yang perlu diperoleh oleh oknum-oknum pejabat, baik sipil rnaupun militer, selama gaji mereka sebagai pegawai negeri masih tetap tak memadai, dan kelompok yang dapat dijadikan obyek pemerasan, sudah tentu adalah orang Indonesia Tionghoa, yang berkat peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan Pemerintah RI, dibuat menjadi tidak mantap dalarn struktur masyarakat Indonesia sehingga dapat dilecehi tanpa mampu melawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar