Pages

Minggu, 23 Mei 2010

PENCABUTAN SUBSIDI DAN NEOLIBERALISME

Selama ini, bangsa Indonesia sedang mengalami suatu masa-masa sulit karena adanya pencabutan subsidi oleh pemerintah yang mempunyai efek domino terhadap kondisi perekonomian nasional secara keseluruhan. Biaya transportasi mulai naik yang selanjutnya diiringi dengan melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok, dan fenomena ini semakin saja memberatkan kondisi masyarakat yang sebelumnya juga mengalami banyak cobaan akan pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Hari-hari semakin berat untuk dilalui, mereka semakin terjepit oleh melambungnya kebutuhan sehari-hari yang berimbas pada menurunnya standar hidup. Artinya, ancaman meningkatnya angka kemiskinan strukturalis akan menghantui proses pemulihan ekonomi Indonesia, dan didalamnya terjadi proses marginalisasi secara sistematis. Akibatnya, hampir dapat dipastikan, angka jumlah penduduk miskin juga akan bertambah karena mereka semakin terhimpit akan kondisi ekonomi yang semakin terpuruk.

Jika ditilik dari akar penyebab pencabutan subsidi subsidi selama ini, menurut versi pemerintah, pencabutan subsidi dilakukan karena tidak tepat sasaran, pemborosan terhadap anggaran, dan memotivasi masyarakat agar menggunakan sumber alternatif lainnya. Karena itu, pemerintah dengan solusi kompensasi untuk rakyat miskin semakin masif untuk melaksanakannya. Tetapi, dalam realitas yang sebelumnya telah terjadi, kompensasi itu hanyalah lips service belaka agar rakyat tidak sering protes dan “tenang” menghadapi kenaikan harga. Kompensasi itu hanya bersifat insidental dan aksidental, terus, apa arti dari kompensasi sesungguhnya? Inilah pertanyaan yang mungkin perlu dipahami secara arif dan bersama-sama. Dari kasus ini juga dapat diambil benang merah atas fenomena-fenomena serupa (pencabutan subsidi), yaitu : pencabutan suatu subsidi oleh pemerintah akan selalu diimbangi dengan retorika kompensasi (subsidi silang) yang pada dasarnya hanyalah topeng untuk menutupi adanya ketidakadilan dalam kebijakan tersebut.

Bagaimana Memahami Proses Ini ?
Untuk memahami fenomena ini, kita dapat menggunakan tiga level analisis yang ditawarkan oleh Spanier untuk dijadikan instrumen dalam mengamati proses lahirnya kebijakan yang merugikan rakyat tersebut. Ketiga level analisis tersebut mempunyai dasar perspektif berbeda terhadap realitas yang telah, sedang, atau akan terjadi dalam tataran teknik penjelasan kausalitas intern dan ekstern.
Level analisis pertama yaitu negara. Negara dalam konteks kesejahteraan merupakan instrumen pelaksana yang berperan sebagai ujung tombak dari proses penciptaan kesejahteraan bersama, subsidi merupakan salah satu dari mekanisme ini. Apabila subsidi dicabut oleh pemerintah, maka arah dari tujuan negara lenyap karena didalamnya tidak ada perlindungan terhadap masyarakat rentan yang selanjutnya akan semakin memarginalkan mereka. Artinya negara telah kehilangan salah satu fungsinya, menciptakan kesejahteraan bersama yang berkeadilan sosial. Seharusnya hal ini dipahami sebagai acuan pemerintah, bukannya sebagai suatu kebijakan yang memberatkan anggaran dan menghambat pembangunan seperti retorika yang berkembang saat ini.

Level analisis kedua adalah sistem. Dalam menggunakan level analisis ini, saya menggunakan pendekatan world system seperti yang dikemukakan oleh Wallerstein sebagai pisau analisanya, karena semua negara tidak dapat lepas dari sistem internasional yang tengah berkembang dan mendominasi dalam kancah pergaulan dan politik internasional. Indonesia sebagai bagian dari sistem ini mau tidak mau harus “tunduk” dengan serangkaian aturan main yang ada di dalamnya, kecuali ada hasrat kuat untuk melawannya dengan membuat serangkaian regulasi pro-rakyat. Sedangkan sistem yang tengah berkembang saat ini ialah neoliberalisme yang berpedoman pada Thatcherisme dan Reaganisme dengan segenap aturan yang mereduksi peran negara dalam segala bidang, termasuk penciptaan kesejahteraan bersama. Dalam analisa atas fenomena ini, menurut Cosmas Lili, hal ini merupakan bentuk tantangan atas nasionalisme ditengah globalisasi yang tengah terjadi saat ini. Jika ditelaah dan ditelusuri lebih dalam, kaitan antara neoliberalisme dengan pencabutan subsidi terletak pada peran negara yang harus terus direduksi, terutama perlindungan/kepemilikan negara atas sektor-sektor publik. Dan, subsidi merupakan salah satu elemen dari sektor publik yang harus dieleminasi dari hak negara terhadap rakyatnya.

Level analisis terakhir adalah individu. Dalam kerangka ini, proses pembuatan keputusan dan karakteristik decision maker menjadi fokus perhatian analisis penyebab pencabutan subsidi. Peringkat analisis ini menjelaskan perilaku suatu negara, dengan melihat sekelompok orang yang menguasai posisi politis resmi dan bertanggung jawab dalam pembuatan kebijakan. Artinya, terbentuknya suatu kebijakan seringkali diwarnai oleh karakteristik seorang pemimpin yang sedang berkuasa karena hal ini berkaitan erat dengan segala sesuatu yang akan dilakukan kelak. Dalam kasus pencabutan subsidi di Indonesia selama ini, Presiden merupakan sentra dari analisis ini. Karena itu, dalam suatu negara yang ingin menciptakan kehidupan berkeadilan diperlukan seorang pemimpin yang benar-benar membela kepentingan rakyatnya.

Apa yang Harus Dilakukan ?
Pada hakikatnya, subsidi merupakan sarana pengaman sosial yang cukup efektif dalam upaya integrasi sosial karena berperan sebagai penyeimbang dari proses tersebut. Dalam konteks negara, subsidi (seharusnya) dapat dijadikan piranti untuk menunjukkan bahwa negara peduli dengan keadaan rakyat, ia sangt membanggakan bukan merupakan bahan yang patut untuk dicela. Karena itu, untuk menguatkan proses tersebut diperlukan suatu state led Development agar beragam kepentingan rakyat, terutama golongan marginal, dapat terakomodasi (Mansour Fakih). Negara harus dijadikan patokan kebijakan, bukan pasar, karena apalah artinya ada negara jika tidak ada perlindungan terhadap rakyatnya dan setiap kebijakannya tidak mencerminkan suatu kedaulatan otonom. Subsidi terhadap rakyat harus tetap ada, hal itu merupakan hak bagi negara untuk rakyat secara keseluruhan

Bagaimana dengan Kenaikan harga BBM ?
Seiring dengan kenaikan harga BBM yang per 1 Maret kemarin oleh pemerintah, banyak kalangan yang yang menanggapai secara pro atau kontra kebijakan tersebut. Pemerintah dengan retorika subsidi untuk BBM sangat besar dan tidak tepat sasaran, serta kepentingan untuk memperbesar anggaran sektor lain, menjadikan subsidi ini sebagai kambing hitam atas tidak tergarapnya sektor publik lainnya (pendidikan, kesehatan, dll). Maka hukum kausalitas atas subsidi BBM harus dilaksanakan, pemangkasan atas alasan diatas dijalankan walaupun secara realitas banyak penolakan atas kebijakan itu akibat efek domino yang akan timbul dan menjadi bumerang bagi bangsa ini. I will walk in my way, who you are?

Untuk mengatasi gelombang protes yang akan terjadi dari masyarakat akibat kebijakan kenaikan harga BBM, beragam trik persuasi dan propaganda terhadap massa semakin intens dilakukan. Setiap hari, kita disuguhi dengan candu iklan manfaat yang akan diperoleh dengan pemangkasan subsidi BBM beserta solusi yang akan ditempuh untuk membayar ongkos sosial yang pasti terjadi di beragam media, cetak maupun elektronik. Masyarakat terus dininabobokan dengan ikon-ikon rakyat dalam suguhan penuh kepalsuan yang berbentuk iklan untuk menghegemoni persepsi atas kebijakan yang akan diambil itu tidak akan terlalu merugikan. Seolah-olah kenaikan harga BBM tidak akan terlalu menyengsarakan mereka karena adanya kompensasi darinya yang langsung menyentuh kehidupan. Ia akan bergerak sesuai sasaran, dapat dinikmati semuanya, dan akan mengurangi angka kemiskinan di Indonesia serta bla…bla…bla….

Jika ditelaah lebih jauh lagi, subsidi yang berfungsi sebagai transfer kas negara kepada masyarakat (berkebalikan dengan pajak), pada dasarnya mempunyai kemampuan mendorong pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat sehingga mereka tetap dapat eksis dengan standar hidup yang layak secara kemanusiaan. Selain itu, juga berfungsi membantu kelompok yang rentan agar tidak termarginalisasi oleh kekuatan “pemangsa” yang selanjutnya dapat dijadikan pondasi integrasi sosial masyarakat pada umumnya. Apa yang terjadi apabila subsidi BBM yang mempunyai multiplayer effect signifikan terhadap harga kebutuhan dasar lainnya dipangkas? Kebutuhan dasar kelompok masyarakan rentan tersebut akan semakin terabaikan dan akan dapat mengancam pondasi integrasi sosial dalam masyarakat, walaupun akan ada kompensasi atas kenaikan tersebut pada sektor publik lainnya. Apalagi jika dilihat dari kondisi obyektif masyarakat Indonesia sekarang, ribuan korban selamat bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan daerah lainnya, maka beleid ini terkesan tidak bernurani dan berperi kemanusiaan (memang benar adanya). Dimana mereka (dan rakyat lainnya) yang seharusnya mendapatkan dukungan berupa pemberian subsidi untuk pemenuhan basic needs semakin terabaikan sehingga keterpurukan akan menghantui setiap saat.

How About Compenstation ?
Dalam konteks kompensasi beserta tetek bengeknya, hal itu merupakan kepalsuan belaka yang terus diada-adakan walaupun tidak ada, sekedar logika mistis yang dirasionalkan beragam apologia disana-sini. Why? Kita dapat melihat dari beragam kebijakan pemerintah yang paradoks dengan retorika kompensasi tersebut, semakin jauh di awang-awang dan meninggalkan kita dengan segenap janji-janjinya. Katanya untuk subsidi pendidikan, “proyek” pem-BHMN-an PTN-PTN yang ada tetap terus dilaksanakan sehingga biaya pendidikan tinggi semakin tak terjangkau semua kalangan serta biaya pendidikan dasar yang tinggi pula. Apakah itu arti dari kompensasi dari pemotongan subsidi BBM? Untuk bidang kesehatan, pola-pola ambulans zig-zag-nya Iwan Fals masih tetap ada, apakah hal ini juga makna dari kompensasi? Dan banyak contoh lainnya yang dapat dijadikan contoh betapa absurd dan retorika belaka atas nama kompensasi yang dijanjikan. Dan benar menurut Hirts dan Thompson, sektor publik merupakan sektor yang menjadi korban dari kebijakan pemerintah yang tuli akan kesejahteraan bersama karena kemudahahan didalamnya untuk diutak-atik menurut selera penguasa. Selain itu, kompensasi-kompensasi yang dijanjikan (direncanakan) sering kali hanya bersifat insidental dan aksidental sehingga apa-apa yang diharapkan oleh masyarakat sebelumnya terkubur oleh bayang-bayang kompensasi. Palsu! Dari sini, kompensasi yang di-gembar-gembor-kan sebelumnya hanya sekedar lips service untuk sekedar konsolasi agar masyarakat tidak shock dan protes pada saat-saat awal, dan untuk tahapan selanjutnya, up to you! You must walk in your own ways, I don’t know!

Dalam hal ini, pemerintah harus instropeksi atas fungsi-fungsi kesejahteraan yang menjadi tanggung jawab dari negara. Apa guna ada negara beserta perangkat-perangkatnya apabila ia hanya menjadi sekedar tukang stempel bagi kelompok tertentu, dan hanya mau “mengerti” akan keinginan “pemangsa” bukan rakyat secara keseluruhan. Negara harus dijadikan instrumen penciptaan kesejahteraan bukannya pasar yang selama ini diagung-agungkan sebab mempunyai kapital yang besar, karena didalam benaknya hanya ada satu pikiran buta, profit, profit, dan profit. Ia tidak akan mau tahu dengan agenda-agenda sosial dan usaha pengentasan kemiskinan karena memang sudah menjadi tabiat dasar yang melekat sejak ia lahir. Dan, negara beserta perangkat-perangkatnya harus mengerti akan hal itu, maka fungsi-fungsi negara sebagai alat kesejahteraan masyarakat wajib untuk ditegakkan kembali setegak-tegaknya. Ia harus lebih mandiri di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian dalam berkebudayaan seperti dalam rumusan doktrin Trisakti, sehingga negara yang kita cintai ini tidak diombang-ambingkan oleh kekuatan lain selain kekuatan yang sudah melekat dari bangsa ini, Indonesia yang berdaulat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar