Pages

Minggu, 23 Mei 2010

PERAN PENDIDIKAN DALAM MENGATASI PERGAULAN BEBAS DI KALANGAN REMAJA KINI

Masa remaja bagi sebagian besar orang merupakan masa-masa transisi, dari anak-anak menjadi dewasa. Pada masa ini, seringkali remaja mengalami masa “pencarian identitas”. Berbagai usaha dilakukan oleh para remaja untuk menunjukkan eksistensi diri mereka. Mulai dari gaya berbusana, maupun mengikuti kontes ajang bakat. Pergaulan menjadi kunci sejauh mana mereka dapat menunjukkan eksistensi dirinya. Pergaulan yang bebas terkadang membuat para remaja tidak dapat mengontrol dirinya, sehingga mereka terjerumus terlalu jauh. Banyak contoh, misalnya : free sex, pemakaian narkoba, drag race, dan lain sebagainya.

Sebab pergaulan bebas
Ada banyak hal yang menyebabkan para remaja ini terjerumus dalam pergaulan bebas, antara lain :
a. Kurangnya perhatian dari orang tua,
Perceraian atau ketidakharmonisan orang tua seringkali menjadi pemicu utama para remaja kemudian mencari pelarian atas permasalahannya, biasanya mereka mengkonsumsi narkoba maupun minuman keras, untuk melupakan sesaat permasalahan mereka. Selain itu, kesibukan orang tua juga menyebabkan orang tua tidak lagi memiliki waktu untuk sekedar mengobrol dengan anak-anak mereka, sehingga anak-anak mereka mencari cara untuk menarik perhatian mereka.
b. Penerimaan dalam kelompok,
Para remaja biasanya memiliki geng-geng atau kelompok-kelompok sepermainan. Masing-masing kelompok memiliki ciri khas sendiri, atau kegiatan khas tersendiri. Untuk dapat diterima sebagai anggota kelompok, biasanya remaja yang termasuk dalam kelompok ini harus mengikuti aturan dalam kelompok. Misalnya, cara berbusana, maupun minuman-minuman keras.
c. Kurangnya aqidah,
Pemahaman remaja tentang aqidah (Islam), yaitu tentang perintah dan larangan Allah, saat ini terasa sangat minim. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan agama di rumah, bahkan di sekolah pun pelajaran agama hanya diberikan selama dua jam pelajaran dalam satu minggu.

Keluarga sebagai sekolah pertama
Untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para remaja ini diperlukan kerjasama orang tua, sekolah, dan masyarakat. Keluarga, dalam hal ini orang tua, merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi remaja sebagai generasi penerus bangsa. Keluarga memiliki tanggung jawab yang besar dalam mencetak pemimpin bangsa. Keluarga adalah institusi pertama yang meletakkan informasi fondasi kepribdian yang kuat, dengan kata lain pendidikan di keluarga seyogyanya dimulai sejak dini, atau pada saat anak masih di dalam rahim. Pendidikan awal yang ditanamkan oleh orang tua terhadap anaknya ialah dasar aqidah yang kuat. Pada saat anak masih dalam kandungan, ia terbiasa mendengarkan kata-kata manis dan lembut dari ibunya dan lantunan ayat-ayat Al-qur’an.
Ada tiga tahap perkembangan pendidikan anak (dalam keluarga) menurut Islam. Tahap pertama, yaitu pada saat anak berusia 0-7 tahun adalah pertumbuhan balita, dimana akan sangat membutuhkan pemeliharaan dan kash sayang seorang ibu. Setelah anak mulai belajar berbicara, peranan ibu sangat vital. Sebab bahasa yang pertama kali dikenal oleh anak adalah bahasa ibu. Daam usia 6 tahun anak harus diajarkan adab sopan santun untuk membentuk akhlaqul karimah sang anak.
Pada tahap kedua, usia 7 sampai 10 tahun adalah adalah tahap pemeliharaan anak, menyampaikan nasehat-nasehat Islami, dikenalkan kewajiban-kewajibannya sebagai muslim. Tahap ta’dib (pengawasan) adalah tahap pada saat anak menjelang akil baligh (7-15 tahun). Tahap ini merupakan masa yang penting karena merupakan saat anak mengalami pubertas/perubahan. Oleh karena itu anak harus dikenakan hukuman bila melanggar kewajiban yang dibebankan kepadanya.
“Suruhlah anakmu mengerjakan shalat pada usia 7 tahun dan pukullah pada usia 10 tahun bila mereka tidak shalat, pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR. Al Hakim dan Abu Daud)
Tahap ketiga, jika anak telah mencapai usia baligh (lebih kurang ), dapat dikatakan anak memasuki tahap penyempurnaan kepribadian (dewasa) dan mulai dibebankan kepada tanggung jawab. Dalam hal ini anak mulai dikenalkan cara mandiri untuk mencari nafkah dan lebih bertanggung jawab dengan dirinya sendiri.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal
Setelah anak memasuki usia 5 tahun, peran keluarga dan masyarakat (lingkungan) tidak lagi mencukupi kebutuhan pendidikan anak. Pada usia ini anak perlu mendapatkan proses yang terstruktur dalam suatu kurikulum. Satu-satunya lembaga yang mampu menyelenggarakan fungsi in adalah sekolah. Pendidikan di sekolah dilakukan berjenjang : tingkat dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Proses pendidikan di suatu jenjang seharusnya dikembangkan serta dikokohkan di jenjang berikutnya
Sekolah melaksanakan peran pendidikan ini melalui tiga perangkat, yaitu: kurikulum berlandaskan aqidah Islam, guru/tenaga pendidikan yang profesional serta berkepribadian Islam, serta sarana dan prasarana yang kondusif untuk melakukan proses pembentukan sifat adil dan kapabilitas kepemimpinan pada anak. Pendidikan kepribadian Islam di sekolah harus dilakukan pada semua jenjang pendidikan sesuai dengan proporsinya, dengan berbagai pendekatan.
Kurikulum di sekolah harus disesuaikan dengan perkembangan anak, dan sesuai dengan Islam, tentunya. Pada tingkat TK sampai SD, matri kepribadian Islam yang diajarkan adalah materi-materi dasar. Hal ini mengingat anak didik berada pada usia menuju baligh, sehingga lebih banyak materi yang bersifat pengenalan guna menumbuhkan keimanan. Setelah mencapai usia baligh (SMP, SMU, dan Perguruan Tinggi), materi yang diberikan bersifat lanjutan : pembentukan, peningkatan, dan pematangan. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara dan sekaligus meningkatkan keimanan serta keterikatan terhadap syariat Islam.
Selain kurikulum yang berlandaskan aqidah Islam, guru dan pengelola pendidikan juga berperan penting dalam pembentukan kepribadian siswa. Untuk bisa memberikan materi secara forma struktural dan nonstruktural guru harus menguasai materi dan mampu menyajikannya dengan baik. Guru tidak hanya berperan sebagai penyampai materi semata, akan tetapi lebih jauh lagi berperan sebagai tauladan (uswah) yang baik. Tanpa teladan dari guru sulit diharapkan tertanamnya kepribadian Islam pada anak didik.
Budaya sekolah merupakan proses yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam proses pendidikan. Contohnya: mengingatkan teman (sesama siswa) yang berbuat tidak baik, dengan cara yang ma’ruf. Atau pihak sekolah memberikan sanksi yang tegas bagi mereka yang tidak menutup aurat (menojolkan aurat / berpakaian tidak sopan), bergaul yang tidak Islami, membuang sampah sembarangan, dan lain sebagainya.

Masyarakat sebagai “polisi sosial”
Kontrol dari masyarakat juga diperlukan guna mengatasi bahaya yang lebih besar lagi, karena lingkungan masyarakat merupakan tempat remaja tersebut hidup. Masyarakat merupakan lingkup pendidikan nonformal, dimana remaja belajar bersosialisasi dan menerapkan apa yang ia dapatkan dari keluarga dan sekolah. Selain itu, dengan besosialisasi dengan masyarakat dan lingkungannya, remaja juga belajar tentang norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat, misalnya norma kesopanan, norma susila, norma hukum, dan lain sebagainya. Kontrol dari masyarakat juga diperlukan untuk membentuk perilaku remaja itu. Masyarakatlah yang mengingatkan para remaja yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, misalnya : drag race liar, remaja berlainan jenis yang berdua-duaan, dan lain sebagainya. Namun, kondisi yang sekarang ini dalam masyarakat sudah mulai terkesampingkan. Masyarakat tidak lagi menjadi “polisi sosial”.

Dengan dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan sinergi dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Diharapkan kerjasama dari ketiganya akan mampu mengatasi bahaya pergaulan bebas di kalangan remaja. Keluarga bukan hanya tempat para remaja ini untuk menumpang hidup, makan dan tidur semata, melainkan di dalam keluarga para remaja akan memperoleh pendidikan informal sebagai bekal mereka hidup di luar lingkungan keluarganya. Jangan sampai keluarga hanya tahu mereka baik di dalam rumah, tetapi di luar rumah mereka lepas kendali. Jadi, harus ada komunikasi di antara kedua belah pihak. Sekolah juga bukan hanya tempat ia mencari ilmu, melainkan juga sebagai tempat ia untuk belajar mandiri dan bersosialisasi dengan masyarakat. Masyarakat sebagai “polisi sosial” harus mampu mengontrol tingkah laku para remaja. Masyarakat tidak boleh bertindak masa bodoh, acuh tak acuh melihat pergaulan para remaja yang sudah melanggar norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar