Pages

Jumat, 16 Desember 2011

"KULTUR LITERASI MAHASISWA"


UPAYA meningkatkan mutu pendidikan saat ini terus digalakkan. Namun sering terjadi kontradiksi antara harapan dan kenyataan. Kemajuan teknologi dan modernisasi semestinya meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi ternyata mutu pendidikan malah turun. Kualitas pendidikan di negeri ini belakangan jauh tertinggal dari negara-negara tetangga.

Melihat survei Times Higher Education Supplement (THES) 2006, perguruan tinggi Indonesia baru bisa menjebol deretan 250 yang diwakili Universitas Indonesia (UI) — di bawah prestasi Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) pada urutan ke-185. Tahun 2007, menurut survei THES dari 3.000 unversitas di dunia, ITB baru berada pada urutan 927 sekaligus jadi perguruan tinggi top di Indonesia.

Mutu rendah pendidikan dipengaruhi antara lain oleh kultur literasi yang rendah di kalangan mahasiswa. Mahasiswa penyumbang terbesar kultur literasi di negara kita. Namun seiring perjalanan waktu, tradisi membaca mahasiswa beralih ke tradisi lisan. Mahasiswa kini cenderung mencari informasi melalui media elektronik. Mahasiswa lebih suka mendapat informasi yang “dibacakan”, berlaku sebagai “pembaca pasif” yang dengan tenang mengunyah renyah segala persepsi yang dikemukakan televisi. Belum lagi budaya nongkrong di kafe, mal, nonton film makin meminggirkan mahasiswa dari tradisi membaca.

Fenomena itu disebut Ignas Kleden sebagai kelisanan sekunder. Budaya kelisanan sekunder menggambarkan kemampuan baca-tulis tak terlalu dibutuhkan karena sumber informasi lebih bersifat audiovisual. Mahasiswa sebagai sumber daya manusia terdidik dan terpelajar seharusnya lebih unggul sebagai inisiator, motivator, dan kreator. Dan, usaha meningkatkan pendidikan berkualitas berawal dari sumber daya manusia yang berilmu dan mampu menyerap setiap informasi yang berkembang. Itu semua diperoleh melalui membaca.

Literasi merupakan istilah yang memiliki banyak turunan, sesuai dengan subjek. Literasi antara lain memiliki turunan literasi media, literasi teknologi, literasi komputer, literasi politik, new literacy studies. Literasi semula mengacu ke kemampuan membaca dan menulis, tetapi kini definisi itu tak mencukupi. Apalagi jika dikontekskan dengan teknologi tinggi yang menjadi ciri tahun 2000-an. Jadi standar literasi pun beragam, sesuai yang mendefinisikan, tergantung pada banyak faktor yang mempengaruhi, misalnya masyarakat, fasilitas, kebutuhan, dan fungsinya.

Amerika Serikat, misalnya, menetapkan tiga standar area literasi bagi kaum dewasa muda. Pertama, literasi prosa yang berhubungan dengan mambaca dan kemampuan menafsirkan. Kedua, literasi dokumen yang mensyaratkan mampu mengidentifikasi dan menggunakan informasi dalam beragam bentuk dokumen. Ketiga, literasi kuantitatif yang melibatkan penggunaan angka pada isi informasi pada barang cetakan.

Dalam cultural studies, perdebatan tentang literasi juga fokus pada tiga hal, yakni bagaimana literasi memengaruhi psikologi individu, organisasi sosial, dan reproduksi budaya. Apa yang akan terjadi pada generasi muda, jika mahasiswa yang dekat dengan melek baca-tulis saja tak lagi mentradisikan membaca dan menulis?

Indikator Kualitas Rendahnya tradisi literasi mahasiswa menjadikan mahasiswa sebagai pelaku pasif, penonton informasi. Meminjam istilah Baudrillard, penonton adalah sesosok objek yang tak memiliki jati diri yang hakiki, hanya “terminal” dari bermacam jaringan tanda yang berseliweran. Mereka dengan sukarela membuang identitas diri untuk bisa meraih suatu kesatuan imajiner dengan “yang lain”. Penonton seperti itu disebut the silent majority, tak lebih dari sekadar mayoritas diam.

Itu berbeda dari proses membaca buku yang tentu lebih “sulit”, membutuhkan keaktifan untuk menelusuri teks yang tersaji di setiap halaman, mengolah, lalu menerjemahkan untuk mendapatkan persepsi tertentu.

Giddens dalam The Third Way merekomendasikan, pendidikan yang berkualitas merupakan syarat mutlak mencapai kemajuan pada era global. Untuk mencapai pendidikan berkualitas perlu perangkat dan pendukung pendidikan yang lengkap dan maju, seperti perpustakaan yang ideal dan professional serta sumber daya manusia yang profesional. Profesionalisme ditentukan oleh mutu mahasiswa, yaitu yang memiliki banyak informasi dan ilmu pengetahuan.

Kita memang tak dapat memastikan apa yang akan terjadi pada masa datang. Namun setidaknya energi kepenulisan dan semangat tetap bergelut di ruang baca perlu dijaga. Sebab, karena dari mereka yang terus membaca kita sering mendapatkan ide segar, pemikiran cemerlang, dan gagasan yang menggugah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar